Peran Lembaga Desa Pakraman/Adat dalam Pelestarian Desa Tradisional Penglipuran Kubu Kabupaten Bangli
PERAN
LEMBAGA DESA PAKRAMAN / ADAT DALAM PELESTARIAN DESA TRADISIONAL PENGLIPURAN
KELURAHAN KUBU KABUPATEN BANGLI
Diajukan
Guna Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk mencapai Gelar
Strata Dua pada Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Konsentrasi
Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial
OLEH
DEWA KETUT SETIA DARMA
NIM : 22222/IV-I/2041/04
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
SEKOLAH PASCA
SARJANA PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
KONSENTRASI KEBIJAKAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
2005
PERAN LEMBAGA DESA PAKRAMAN / ADAT DALAM PELESTARIAN DESA
TRADISIONAL PENGLIPURAN KELURAHAN KUBU KABUPATEN BANGLI
OLEH
DEWA KETUT SETIA DARMA
NIM : 22222/IV-I/2041/04
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
SEKOLAH PASCA
SARJANA PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
KONSENTRASI KEBIJAKAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
2005
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
……………………………………………………………….
|
I
|
||||
HALAMAN PENGESAHAN
………………………………………………….......
|
ii
|
||||
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
………………………………………………….
|
iii
|
||||
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………
|
iv
|
||||
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………..
|
vi
|
||||
DAFTAR TABEL
…………………………………………………………………..
|
x
|
||||
DAFTAR LAMPIRAN
…………………………………………………………….
|
xi
|
||||
ABSTRAKSI
…………………………………………………………………….….
|
xii
|
||||
BAB
|
I
|
PENDAHULUAN
|
|||
A
|
Latar
Belakang Masalah …………………………………….......
|
1
|
|||
B
|
Permasalahan
……………………………………………………
|
9
|
|||
C
|
Tujuan
Penelitian ………………………………………………..
|
9
|
|||
D
|
Kerangka
Dasar Penelitian ………………………………………
|
10
|
|||
D.1
|
Konsep
Pembangunan Pariwisata …………………………
|
11
|
|||
D.2
|
Arah dan Sasaran Pembangunan Pariwisata ……………
|
15
|
|||
D.3
|
Partisipasi
Masyarakat …………………………………….
|
17
|
|||
D.4
|
Institusi
Lokal dan Pranata kebudayaan …………………..
|
22
|
|||
D.5
|
Pengendalian
Sosial / Nilai Budaya ……………………….
|
26
|
|||
D.6
|
Peranan
Lembaga Adat / Desa Pakraman ………………
|
29
|
|||
D.7
|
Pelestarian
Desa Tradisional Penglipuran ………………
|
32
|
|||
E
|
Metodelogi
|
||||
E.1
|
Penelitian
Kualitatif ……………………………………….
|
34
|
|||
E.2
|
Lokasi
Penelitian ………………………………………….
|
35
|
|||
E.3
|
Teknik
Pengumpulan Data ………………………………..
|
36
|
|||
E.4
|
Teknik
Analisa Data …………………………………………
|
39
|
|||
E.5
|
Teknik
Pemeriksaan Keabsahan Data …………………….
|
40
|
|||
vi
|
|||||
BAB
|
II
|
DESKRIPSI
WILAYAH DESA PAKRAMAN PENGLIPURAN
|
|||
A
|
Desa Pakraman / Adat Di Bali
|
||||
A.1
|
Sejarah
Desa Adat …………………………………………
|
41
|
|||
A.2
|
Pengertian
Desa ……………………………………………
|
42
|
|||
A.3
|
Pengertian
Desa Adat ……………………………………5..
|
44
|
|||
A.4
|
Tipe
Desa Adat ………………………………………….
|
48
|
|||
A.5
|
Dasar
Hukum Otonomi Desa Adat ……………………
|
49
|
|||
A.6
|
Struktur Lembaga Desa Adat dan
|
||||
Tanngungjawab
Bendesa Adat ……………………………
|
51
|
||||
A.7
|
Fungsi
Desa Adat ………………………………………….
|
52
|
|||
B
|
Desa
Adat Penglipuran
|
||||
B.1
|
Sejarah
Desa Pakraman / Adat Penglipuran …………
|
53
|
|||
B.2
|
Letak dan Keadaan
Geografis Desa Pakraman
|
||||
Penglipuran
………………………………………………
|
54
|
||||
B.3
|
Kondisi Kependudukan, Ketenagakerjaan dan Sosial
|
||||
Budaya
Desa Pakraman Penglipuran…………………..
|
56
|
||||
B.4
|
Kelembagaan
Desa Adat Penglipuran serta tugas
|
||||
dan fungsi masing-masing Struktur ……………………
|
60
|
||||
C
|
Desa
Tradisional Penglipuran
|
||||
C.1
|
Tradisi-Tradisi
Budaya …………………………………....
|
65
|
|||
C.2
|
Pola
Desa Tradisional Penglipuran ………………………..
|
66
|
|||
C.3
|
Pola Bangunan Desa Tradisional Penglipuran………….
|
67
|
|||
C.4
|
Potensi
Desa Tradisional Penglipuran ………………...
|
68
|
|||
C.5
|
Masyarakat
Agraris ……………………………………….
|
70
|
|||
C.6
|
Tarian
Tradisional ( Sakral ) ……………………………….
|
71
|
|||
BAB
|
III
|
PERAN LEMBAGA DESA PAKRAMAN / ADAT DALAM
|
|||
PELESTARIAN DESA
TRADISIONAL PENGLIPURAN
|
|||||
A
|
Nilai-nilai
Budaya dan Norma-norma Adat yang
|
||||
Mengandung
makna Pelestarian …………………………………
|
72
|
||||
vii
|
|||||
B
|
Bentuk-Bentuk Peranan Lembaga Desa
|
||||
B.1
|
Bentuk Peranan Lembaga Adat dalam Kegiatan
|
||||
Upacara
Agama ……………………………………………
|
76
|
||||
B.2
|
Bentuk Peranan Lembaga Adat dalam Kegiatan
|
||||
Sosial
Kemasyarakatan ………………………………..
|
78
|
||||
B.3
|
Bentuk Peranan lembaga Adat dalam Kegiatan
|
||||
Kesenian
…………………………………………………..
|
79
|
||||
B.4
|
Bentuk Peranan lembaga Adat dalam Kegiatan
|
||||
Perekonomian
……………………………………………..
|
80
|
||||
B.5
|
Bentuk Peranan lembaga Adat dalam Kegiatan
|
||||
Keamanan
………………………………………………....
|
81
|
||||
C
|
Proses Ritual-ritual yang mengandung makna Pelestarian
…
|
81
|
|||
D
|
Pemberdayaan Peran
Desa Pakraman / Adat …………….
|
86
|
|||
D.1
|
Pemberdayaan
Desa Pakraman …………………………
|
86
|
|||
D.2
|
Meningkatkan
Peran Desa Adat …………………………..
|
87
|
|||
D.3
|
Optimalisasi
Peran Desa Pakraman/Adat …………………
|
89
|
|||
D.4
|
Eksistensi
dan Kewenangan Warga Desa Adat …………
|
91
|
|||
D.5
|
Hak
dan Kewajiban Warga desa Adat …………………….
|
92
|
|||
E
|
Pelaksanaan Pelestarian Desa Tradisonal Penglipuran….
|
94
|
|||
BAB
|
IV
|
KESIMPULAN
DAN SARAN
|
|||
A
|
Kesimpulan ……………………………………………………..
|
130
|
|||
B
|
Saran
…………………………………………………………….
|
131
|
|||
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
|
133
|
||||
viii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan
kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dan karena berkat
Kuasa Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai bentuk tanggung
jawab penulis sebagai mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Sosiologi
Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahtreraan Sosial Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Dalam pembuatan tesis ini banyak sekali pihak yang berkontribusi
dalam tahap penyelesaiannya, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Suharko yang sebagai pembimbing kami, yang dengan tulus hati
beliau telah meluangkan waktu dan memberikan
yang terbaik sehingga pekerjaan yang semula terasa berat dan pada akhirnya
termotivasi sehingga lancar. Juga kami sampaikan terima kasih kepada Rektor
Universitas Gadjah Mada, Direktur Pasca Sarjana / Ketua Konsentrasi Sosiologi atas segala fasilitas selama
penulis menjadi mahasiswa Program Studi Sosiologi, serta seluruh staf pengajar
program studi sosiologi khususnya program KKS yang telah memberikan ilmu kepada
penulis sehingga bisa seperti sekarang ini. Juga pihak lain yang telah membantu
kelancaran kuliah dan penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda serta saudara-saudaraku
yang tercinta yang telah memberikan dorongan semangat dan
motivasi untuk penulis
Iv
sehingga
membangkitkan dan memacu sehingga studi ini bisa cepat selesai. Yang tak kalah
juga buat istriku tercinta Komang Sri Ratna Wati, SH serta anak-anaku tercinta,
Ega, Joudy, Yumang dan Rio yang telah
memberikan cinta kasihnya mendampingi penulis menyelesaikan pekerjaan ini. Juga
tak lupa terima kasih buat teman-teman yang telah memberi spirit secara
materiil dan spiritual. terakhir terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu
Tiada kata yang lebih tepat kami sampaikan selain memanjatkan doa kepada
Tuhan, kiranya semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan yang telah
mereka berikan kepada penulis, Budi baik yang telah diberikan tak akan dapat
digantikan dengan apapun.
Bangli, Nopember
2005
Dewa
Ketut Setia Darma, SH
V
ABSTRAK
Penelitian
ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi daerah yang menjadikan
daerah-daerah mempunyai kesempatan untuk membangun daerahnya dengan kemampuan
sendiri. Begitu juga dengan halnya Kabupaten Bangli berupaya untuk menggalakkan
disektor pariwisata yang tujuannya untuk menciptakan kesempatan kerja,
tumbuhnya lapangan kerja sehingga terjadi peningkatan taraf hidup masyarakat.
Selain itu pemerintah dengan adanya Otonomi mereka berlomba-lomba menggali
potensi yang mereka miliki sehingga semua sektor dikerjakan dan pada akhirnya
pemerintah mengejar pendapatan asli daerah untuk memenuhi target.
Dalam
pembangunan disektor Pariwisata sudah pasti terjadi pembangunan sarana dan prasarana
pendukung yang akhirnya menimbulkan suatu efek yang tidak kecil, dampak yang
ditimbulkan adalah peralihan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya,
tatanan kehidupan berubah, tradisi dan kebudayaan terkikis, serta yang paling
terlihat adanya pola hidup gaya baru. Semua hal tersebut menjadikan ketimpangan
tatanan hidup yang selama ini telah berjalan dengan baik menjadi sirna. Namun
tidak semua daerah yang bisa bertahan atau mempertahankan tradisi atau
kebiasaan-kebiasaan adatnya untuk tetap ajeg atau lestari, disini penulis
melihat salah satu Desa Tradisional yang masih memegang teguh tradisi dan Adat
Istiadatnya sehingga desa tersebut sampai sekarang tetap lestari.
Sumber
data dari penelitian ini adalah dari dokumentasi, informan dari berbagai komponen
yang terlihat dalam pelestarian desa Pakraman penglipuran. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik observasi,wawancara, studi kepustakaan, dan studi
dokomentasi, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif, dengan
berpedoman pada teori-teori tentang Pelestarian Lingkungan Desa Pakraman dan
awig-awig desa Pakraman.
Hasil
penelitian menemukan bahwa Pelestarian desa Pakraman Penglipuran berhasil yaitu dengan melakukan suatu cara dengan mengefektikan Awig-awig yang ada , awig-awig
tersebut sangat efektif sebagai kontrol sosial terhadap perilaku warga. Selain
itu untuk pelestarian tata bangun dan pola desa semua berpedoman pada konsep
Tri Mandala. Pelestarian bukan hanya peran Lembaga Desa Pakraman saja tetapi
juga diperlukan bantuan pihak lain. Pelestarian sudah bukan tumbuh dari diri
warga namun sudah berorientasi pada komersiil, salah satu cara yang dilakukan
Lembaga Desa Pakraman untuk pelestarian Desa Tradisional adalah dengan
menginventarisasi semua kegiatan adat, kursus-kursus membuat banten, kursus
pemangku serta menggalakan atau menghidupkan kembali organisasi adat yang ada.
Kata Kunci
: Lembaga Desa
Pakraman, Pelestarian, Desa Tradisional
Penglipuran
Xi
ABSTRACT
The
background of this research is the policy of the government that is the region
autonomy constitution which make the regions have opportunity their own area. And
so does Bangli Regency which tries to encourage the tourism sector in order to
create the opportunity to get job for the people. So , the society way of life
can be increase, besides, the constitution the region compete to force the
potency they have. They develop all sectors to get the region original income.
To
develop the tourism sector of course will causes the development of the
equipment which finally can bring out the side effects. Such as the trantition
of an area which is not macth as it should be, the change of life system,
tradition and culture and the new life style of the society will occurs. Those
will causes the defect of way of life of the society. However, not all regions
can maintain their tradition an cuctom to keep it lasting. The writer observe
one of the traditional village that still keep their tradition and custom until
now.
The
data sources of this research are from documentation, informan, and other
visible components who invoive to keep traditional village heritage. The data
is collected by doing observation, interview, library research and
documentation study. The data analyze using descriptive qualitative method on
the theory about the revitalization of Pakraman village environment and
Pakraman village regulation.
The
result of this research, to find that the Penglipuran village success in
keeping their tradition an custom by obeing the regulation or awig-awig. The
regulation or awig-awig is very effective as a social control of the people
behaviour. Beside that, to keep the construction and the people hause village
pattern is based on the three concepts called Tri Mandala. To keep the
tradition heritage and custom is not only the duty of village institution but
also the other side. They do some efforts to keep the tradition heritage such
as inventoryze all the custom activites, the course to make offering, and also
encourage or excite the custom organization.
Key word : Traditional
Village Institution, Heritage, Penglipuran Traditional
Village
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
: 1 Pola Linier
desa Pakraman Penglipuran
( Utara-Selatan
)
Lampiran : 2 Pola bangunan Desa
Pakraman Penglipuran
(
Bale Daja – Bale sake Nem )
Lampiran : 3 Pola
bangunan Desa di Bali
Lampiran : 4 Peta
Kabupaten Bangli
Lampiran
: 5 Gambar Pencapaian
Ke Desa Pakraman
Penglipuran
Lampiran : 6 Gambar fasilitas disekitar Desa
Penglipuran
Lampiran
: 7 Gambar Potensi
Wisata Desa Penglipuran
Lampiran : 8 Gambar Potensi
Wisata sekitar Desa
Pakraman
Penglipuran
Lampiran : 9 Gambar
Peta Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran : 10 Gambar
Tata Guna Lahan
Desa Pakraman
Penglipuran
Lampiran : 11 Gambar Tata
guna Bangunan Desa Pakraman
Penglipuran
Lampiran : 12 Gambar Kondisi
Jalan Desa Pakraman
Penglipuran
Lampiran : 13 Gambar Peta
pemilikan Tanah Desa
Pakraman Penglipuran
Lampiran : 14 Gambar
Peta Konservasi Desa
Pakraman
Penglipuran
Lampiran : 15 Gambar Peta tata Guna lahan Desa Pakraman
Penglipuran
Lampiran : 16 Gambar
Peta Rencana Arahan Desa
Pakraman
Penglipuran
X
DAFTAR TABEL
Tabel
|
1
|
Daftar Jumlah Kunjungan
Obyek Wisata
|
||
Desa
Pakraman Penglipuran …………………..……………
|
7
|
|||
Tabel
|
2
|
Daftar
Penerimaan Retribusi Obyek Wisata
|
||
Desa
Pakraman Penglipuran …………………..……………
|
8
|
|||
Tabel
|
3
|
Daftar
Penerimaan Retribusi Obyek Wisata
|
||
Di
Kabupaten Bangli ……….. …………………..……………
|
8
|
|||
Tabel
|
4
|
Komposisi Penduduk Desa Pakraman Penglipuran
|
||
Menurut
Umur …………………………………………………
|
56
|
|||
Tabel
|
5
|
Komposisi Penduduk Desa Pakraman Penglipuran
|
||
Menurut
Tingkat Pendidilan..…………………………………
|
57
|
|||
Tabel
|
6
|
Komposisi Penduduk Desa Pakraman Penglipuran
|
||
Menurut
Tingkat Mata Pencaharian …………………………
|
58
|
|||
Tabel
|
7
|
Komposisi Penduduk Desa Pakraman Penglipuran
|
||
Menurut
Agama …………………………………………………
|
59
|
|||
Tabel
|
8
|
Daftar Pura-Pura di Desa Pakraman Penglipuran …………
|
68
|
ix
|
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa dan diteruskan dengan dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang akhirnya dikeluarkannya
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004, merupakan tonggak dimulainya Otonomi
Daerah dengan paradigma baru, otonomi daerah harus disadari sebagai suatu era
baru sistem pemerintahan di Indonesia dan merupakan transformasi paradigma
dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan daerah, dimana Pemerintah
Daerah memiliki otonomi yang luas untuk mengelola sumber-sumber ekonomi
daerahnya secara mandiri dan bertanggungjawab dengan hasilnya diorientasikan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut daerah
diberi peluang membangun dengan modal yang dimiliki serta menggali
peluang-peluang yang bisa menambah pendapatan asli daerah guna untuk
kepentingan pembangunan daerahnya.
Pembangunan daerah kabupaten Bangli bertumpu pada sektor
pertanian, pariwisata dan industri kecil. Pariwisata dianggap sebagai sektor
andalan yang diharapkan mampu menggalakkan kegiatan ekonomi dan sektor-sektor
lainya, sehingga dapat meningkatkan lapangan kerja. Kesempatan berusaha,
pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan negara serta meningkatkan
penerimaan devisa.
Pembangunan pariwiasata dilaksanakan dengan memanfaatkan
kekayaan alam dan keanekaragaman budaya, dengan tetap mempertahan kepribadian
bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, serta memperhatikan kelestarian dan
fungsi lingkungan hidup. Untuk mencapai hal tersebut diatas, maka dilakukan
upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan secara
optimal dengan pemerataan pembangunan kepariwisataan sesuai dengan potensi dan
daya dukung yang dimiliki.
Memang dengan menggeliatnya sektor pariwisata yang
menjadi andalan semua negara menyebabkan terjadinya pembangunan yang meningkat
secara drastis dalam memenuhi perangkat pendukung sarana dan parasana
pariwisata, jangankan negara namun
ditingkat nasional seluruh propinsi, kabupaten telah berlomba-lomba membangun
disektor pariwisata yang tujuannya untuk mencari atau mengejar pendapatan asli
daerah yang mana mengorbankan banyak hal.
Karyono ( 1997;89 ) menyatakan bahwa pariwisata merupakan
sektor yang diandalkan pemerintah untuk memperoleh devisa dari penghasilan
nonmigas. Peran pariwisata dalam pembangunan memberikan sumbangan terhadap
bidang-bidang strategis dalam pembangunan nasional, seperti 1) menciptakan dan
memperluas lapangan kerja, 2) menciptakan dan memperluas lapangan usaha, 3)
meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemerintah, 4) mendorong pelestarian
lingkungan hidup, 5) mendorong pelestarian dan pengembangan
budaya bangsa, 6) mendorong peningkatan
bidang pembangunan sektor lainnya, 7)
memperluas wawasan nusantara, memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa serta
menumbuhkan rasa cinta tanah air, dan 8) mendorong perkembangan daerah.
Kekuatan daya tarik budaya mengakibatkan pengembangan
pariwisata khususnya di Bali diarahkan pada
pariwisata budaya. Hal ini ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
1991 (Geriya, 1995) serta ditetapkan
lagi oleh Departemen Pariwisata Pos dan Telekomonikasi melalui Dirjen Pariwisata
( 1989;49 ) menegaskan bahwa daya tarik pemancing utama bagi pariwisata di Bali adalah budayanya, sehingga pariwisata budaya menjadi
andalan utama Bali. Pariwisata budaya yang
dikembangkan adalah pariwisata yang berlandaskan budaya dengan dinamika sosial
masyarakat yang bersumber pada agama Hindu.
Dengan adanya kunjungan wisatawan- wisatawan ke negara
kita akan terjadi pertemuan antar budaya berbagai bangsa, sehingga terjadi
pergeseran-pergeseran nilai hidup di dalam masyarakat dan untuk menyadari hal
tersebut, mulailah diupayakan langkah-langkah pengamanan dan pelestarian
nilai-nilai budaya yang terancam kelangsungannya dan terus menggali upaya-upaya
untuk mengembangkannya sesuai peruntukan ilmu dan teknologi.
Pembangunan pariwisata harus tetap menjaga terpeliharanya
kepribadian dan budaya bangsa, terlindungnya kepemilikan aset masyarakat
setempat, tertangkalnya dampak negatif serta terpeliharanya kelestarian
lingkungan hidup. Guna mewujudkan tekad agar sektor pariwisata menjadi salah
satu aset devisa perlu memantapkan keragaman perangkat lunak dan perangkat
keras sehingga memberikan sinergi dukungan yang lebih handal.
Pembangunan masyarakat desa harus melibatkan
elemen-elemen kritis yakni pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, pembangunan
politik, pembangunan budaya, pembangunan lingkungan dan pembangunan
personal. Hal ini disebabkan karena
untuk mewujudkan pembangunan masyarakat yang komprehensif, tidak sekedar
mencakup pekerjaan sosial dan ekonomi, melainkan juga mengandung dimensi politik,
cultural, lingkungan dan mental, (Suparjan
dan Hempri Suyatno, 2004:2 ).
Lebih lanjut Suparjan dan Hempri Suyatno mengatakan bahwa
pembangunan desa menghendaki beberapa dimensi
seperti diantaranya pembangunan budaya yang mencakup perlindungan / pelestarian
dan penghargaan terhadap kultur lokal, kultur asli, komunitas asli,
multikulturalisme dan kultur partisipatori.
Dalam pembangunan dibidang apapun yang dilakukan di Bali harus mengikutkan peran
Lembaga Desa Pakraman sehingga tidak terjadi benturan-benturan setelah selesai
pembangunan tersebut, sebab pada suatu desa pasti mempunyai aturan tersendiri,
sehingga disini peran lembaga Desa Pakraman sangat menentukan. Desa adat di Bali mempunyai otonomi khusus dan pemerintah tidak bisa
mengintervensi dari keberadaan otonomi desa tersebut, maka disini peran lembaga
adat sangat kuat dalam menentukan boleh tidaknya suatu kegiatan.
Peran desa
adat dalam aktivitas kepariwisataan mencakup pada tiga aspek yang harus ditingkatkan
seperti, perencanaan, operasional , pengawasan. Dimana unsur pengawasan dalam bidang
yang terkandung dalam konsep Tri Hita Karana meliputi : Parhyangan, Pawongan, Palemahan.
Dampak yang diakibatkan dari perkembangan pariwisata
sangat berpengaruh terhadap perkembangan kebudaya lokal yang semakin terkikis,
dan generasi muda semakin memilih budaya barat yang katanya lebih modern, hal
inilah perlu dicermati bagaimana bangsa Indonesia tetap mempertahankan budaya
kita yang beraneka ragam tersebut sehingga tidak punah, malah akan semakin
bertambah, sebab negara kita terkenal di dunia karena budayanya yang beraneka
ragam, kebudayaan merupakan salah satu aset yang dijual dalam dunia
kepariwisataan. Sehingga kita harus tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan
kita.
Pariwisata yang hakekatnya adalah bertumpu pada keunikan
dan kekhasan serta keelokan sehingga menempatkan keanekaragaman sebagai suatu
hal yang prinsip dan hakiki, maka pengembangan pariwisata pada dasarnya untuk
kelestarian dan memperkokoh jati diri bangsa serta lingkungan alam.
Pemerintah terkadang lupa
dengan tatanan masyarakat kita yang hidup dengan budaya dan tradisi yang
menjadi kebiasaaan masyarakat turun - temurun dari nenek moyang kita, karena
kebudayaan tersebut merupkan pola tingkah laku dari warga masyarakat yang
dipakai pedoman hidup. Secara tidak
langsung pemerintah telah mengkikis budaya-budaya masyarakat secara perlahan
dengan adanya pembangunan-pembangunan yang bertujuan hanya untuk mengejar
pendapatan asli daerah. Dimana banyak aset-aset yang bersejarah, peninggalan
purbakala yang merupakan warisan leluhur lokasinya berubah
fungsi menjadi tempat yang tidak seharusnya.
Sekarang lahan
yang diperuntukan untuk pembangunan pariwisata telah menggeser banyak lahan
produktif serta tempat-tempat sakral yang digunakan untuk keperluan upacara
bagi umat Hindu, sehingga nantinya umat Hindu sebagai tuan rumah harus
tersingkir dirumahnya sendiri dan secara perlahan telah mematikan kebiasaan dan
kebudayaan kita sendiri. Padahal yang
kita jual dalam dunia pariwisata salah satunya adalah budaya, dimana yang
menjadi daya tarik wisatawan berkunjung adalah melihat keanekaragaman budaya
yang unik, namun jika kebudayaan kita habis atau punah maka apa yang akan kita
jual.
Pemerintah tidak selektif memberikan ijin dalam
pembangunan sarana dan prasarana pariwisata sehingga menimbulkan dampak
terhadap budaya serta menimbulkan ekses di tingkat bawah serta merusak tatanan
yang telah ada. Ini semua harus dimulai dari birokrasi dalam penertiban
pembangunan yang semakin menjamur dan mengakibatkan efek yang sangat besar.
Obyek yang dijadikan daerah
penelitian adalah Desa Pakraman
Penglipuran . Diambilnya Desa Pakraman Penglipuran sebagai obyek penelitian
dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah pertanian yang subur, dimana
banyak terdapat tanah pertanian yang produktif dan desa tersebut wilayahnya
sangat luas, juga daerah tersebut merupakan desa tradisional yang mempunyai
ciri palemahan atau tempat perumahan yang khusus dan masih terpelihara sampai
sekarang. Desa ini sudah terkenal di manca negara dan desa tersebut juga
mempunyai keunikan seperti hutan bambu tradisional yang harus dilestarikan,
juga adanya tradisi adat karang madu yang melarang warganya untuk berpoligami.
Juga ada adat tidak berbicara waktu melaksanakan suatu upacara tertentu. Semua itu merupakan ciri khas yang tidak dimiliki
oleh desa lain dan masih tetap dilaksanakan walaupun dalam kemajuan jaman.
Desa Tradisional Penglipuran sebagai salah satu aset
Pariwisata yang dimiliki Kabupaten Bangli
sampai sekarang masih tetap utuh dan terus berkembang ini dapat dilihat
dari jumlah kunjungan wisatawan dan retribusi yang dipungut dari obyek Wisata Desa Tradisional Penglipuran
mulai dari tahun 2001 – 2004, kami
sajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
JUMLAH KUNJUNGAN WISATA DI
OBYEK WISATA PENGLIPURAN
TAHUN 2001-2004
Tabel 1
Sumber Data : Dinas
Kebudayaan Dan Pariwisata Kab.Bangli Th.2005
Dari
tabel tersebut tampak bahwa setelah tahun 2001 jumlah kunjungan wisatawan
mengalami penurunan ini terjadi karena peristiwa bom di Kuta dan
issu flu burung dan penyakit desentri, yang diikuti oleh kebijakan
larangan untuk berkunjung ke Indonesia oleh berbagai negara. Demikian sejak
tahun 2003 kunjungan wisatawan mulai
mendekati normal.
Begitu
juga dalam penerimaan retribusi secara langsung mengikuti jumlah kunjungan
wisata, jika kunjungan menurun otomatis penerimaan disektor retrisbusi menurun
begitu juga sebaliknya, hal ini bisa kita lihat dari jumlah penerimaan tahun
2002 mencapai Rp. 50.970.000,- ini merupakan puncaknya dan tahun 2003 mengalami
penurunan yang diakibatkan oleh peristiwa di atas. untuk lebih jelas tabel
penerimaan retribusi kami sajikan sebagai berikut :
DAFTAR
PENERIMAAN RETRIBUSI OBYEK WISATA
DESA
TRADISIONAL PENGLIPURAN TAHUN 2001- 2005
Tabel
2
Sumber : Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bangli
Th. 2005
DAFTAR
PENERIMAAN RETRIBUSI OBYEK WISATA
DI
KABUPATEN BANGLI TAHUN 1990 - 2004
Tabel
3
Sumber
: Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bangli
Tahun
2005
Tabel
3 menunjukkan penerimaan retribusi obyek wisata di Kabupaten Bangli dari tahun
1990 sampai dengan tahun 2004, dimana tahun 1999 – 2002 merupakan puncak ke-emasan
dunia pariwisata di Kabupaten Bangli khususnya, dimana pada tahun 1999 jumlah
kunjungan sebesar 443.350 orang sehingga pendapatan retribusi sebesar Rp.
1.604.903.200, dan terakhir tahun 2002 jumlah kunjungan mencapai 357.446 orang
dengan pendapatan retribusi mencapai
Rp. 1.098.000. Namun tahun 2003 mengalami penurunan secara drastis dikarenakan
adanya peristiwa memilukan sehingga kunjungan wisata mencapai 217.761 dengan
retribusi yang diterima Rp. 670.681.000.
B. PERMASALAHAN
Dilihat dari latar belakang tersebut
diatas maka peneliti dapat menarik suatu permasalahan yaitu :
Bagaimana Peran Lembaga
Desa Pakraman / Adat dalam Pelestarian Desa Tradisional Penglipuran ?
C.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan
permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk ;
Mengetahui Bagaimana Peran
Lembaga Desa Pakraman / Adat dalam Pelestarian Desa Tradisional Penglipuran
D. KERANGKA DASAR TEORI
Teori
merupakan serangkaian asumsi atau konsep, konstrak, definisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan jalan merumuskan hubungan antara konsep, ( Singarimbun & Effendi ,
1989 : 43 ).
Berhasilnya
suatu pembangunan sangat ditentukan oleh adanya keterlibatan semua pihak
seperti adanya perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan terhadap pembangunan
dan yang tak kalah pentingnya keberhasilan pembangunan harus didukung oleh
adanya partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
Hasil
penelitian Michel Picard ( 1990 )
penekanannya lebih banyak memberikan gambaran secara umum tentang
tanggapan masyarakat Bali terhadap tantangan
pariwisata. Ia mengemukakan bahwa pariwisata merupakan wahana utama Bali didalam proses internasionalisasi, ini merupakan
peluang sekaligus tantangan bagi kebudayaan dan masyarakat Bali.
Ia juga memberi peluang penguatan,
tetapi juga sekaligus sangat potensial untuk menghancurkan. Ada banyak dampak negatif yang akan dibawa
oleh proses internasionalisasi Bali yang
semakin deras. Tetapi bukti historical empirical menunjukkan meskipun budaya
pariwisata telah menjadi budaya Bali, dan Bali telah mengalami proses
tourisfication, Picard juga mengemukakan tentang doktrin-doktrin pariwisata
budaya, dan mengenai kebijakan pariwisata yang ada di Bali.
Bagus
( 1975 ) menekankan adanya proses
disorganisasi sosial baik dalam kehidupan berkomunikasi maupun keluarga, juga
ditekankan bahwa perkembangan pariwisata yang pesat menyebabkan terjadinya
pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali,
serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang
integritas masyarakat Bali.
Naya
Sujana ( 1999 ) dalam tulisannya mengatakan bahwa industrialisasi dan modernisasi telah
mendatangkan manfaat dan keuntungan yang cukup besar bagi masyarakat Bali, namun disisi lain perubahan ekonomi telah berjalan
seiring dengan perubahan sosial dan budaya yang mengarah ketingkatan yang lebih
majemuk dan kompleks.
Dengan
adanya industri pariwisata kebudayaan Bali
telah mengalami perubahan pada unsur-unsur yang mendasar, yaitu telah menyentuh
ide, gagasan, pengetahuan yang hidup pada masyarakat Bali.
Penelitian-penelitian
yang telah dilaksanakan tersebut di atas secara umum mengungkapkan bahwa telah
terjadi perubahan – perubahan akibat
dari masuknya industri pariwisata. Dan dampak yang diakibatkan hanya menunjang
pembangunan fasilitas pariwisata pada infrastruktur saja, dan perubahan
bersifat linier, studi-studi di atas pada dasarnya belum menelaah secara
mendalam bagaimana upaya kebudayaan Bali bisa bertahan sehingga bisa tetap
lestari walaupun telah terjadi pengaruh-pengaruh industri pariwisata.
D.1.
Konsep Pembangunan Pariwisata
Pembangunan kepariwisataan nasional merupakan
rangkaian upaya pembangunan sektor pariwisata secara nasional yang
berkesinambungan meliputi seluruh kegiatan masyarakat, bangsa dan negara untuk
terwujudnya tujuan pembangunan nasional yang melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan, kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pada dasarnya hakekat pariwisata adalah
mengandalkan adanya keunikan dan keaslian alam dan budaya yang tumbuh dalam
suatu masyarakat. Hakekat ini merupakan kerangka dasar konsepsi pariwisata yang
kemudian berkembang menjadi sukma pariwisata nasional. Konsep pariwisata
dibangun dari konsep kehidupan bangsa Indonesia yang mengutamakan adanya
keseimbangan. Keseimbangan yang harmonis antara lain adanya hubungan : ( Diklat Teknis Pariwisata Tingkat Dasar, 2004
: 15 )
1.
Hubungan
manusia dengan Tuhan Yang Masa Esa.
2.
Hubungan
antar sesama manusia dengan manusia.
3.
Hubungan
manusia dengan masyarakat dan manusia dengan lingkungan alam baik berupa sumber
daya alam maupun kondisi geografis.
Konsep tersebut bisa
digambarkan sebagai berikut.
Tuhan
Yang Maha Esa
Sumber Daya Alam Geografis
Keterangan
:
1.
Hubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, artinya agama harus selalu ditempatkan sebagai
acuan nilai-nilai fundamental yang tertinggi
2.
Manusia
dengan manusia artinya perlu adanya keseimbangan hubungan antar individu dengan
individu dan masyarakat dimana kita hidup, demikian pula dalam memenuhi
kebutuhan rohani dan jasmani.
3.
Manusia dengan alam
sekitarnya, artinya mutlak pula adanya keseimbangan antara pemanfaatan alam dan
pelestarian alam demi timbulnya pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam perencanaan pembangunan
pariwisata, ada beberapa teori lain yang dapat dipakai sebagai acuan, yaitu
teori pembangunan yang berkelanjutan ( Sustainable
Development ) yaitu pembangunan yang menitik beratkan pada kebutuhan masa
kini yang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Dengan menetapkan konsep “ berpikir global bertindak lokal “ (
bebas dari pembangunan ), serta konsep Tri Hita Karana ( Tiga penyebab
kesejahteraan ), teori ini dapat menekankan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan
oleh pariwisata, serta sasarannya adalah bahwa pariwisata agar direncanakan,
dikelola, dievaluasi. Untuk mencapai hubungan yang serasi, selaras dan seimbang
antara manusia dengan manusia, Sang Khalik dengan lingkungan hidup ( Bagus,
1991;8 dalam Irawan dan Suparmoko, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan,1998;303 ).
Konsep
Tri Hita Karana yaitu antara lain :
1.
Parhyangan
( Kahyangan desa, Kahyangan tiga )
2.
Pawongan
( Prajuru dan Krama Desa Pakraman )
3.
Palemahan
( Wilayah , wewengkon Desa Pakraman )
Dalam hal pelaksanaan pembangunan
secara umum dan pariwisata khususnya teori ini sangat tepat dipakai sebagai
landasan, karena ini menekankan kesejahteraan material secara linier dan
pembangunan dapat meningkatkan hubungan manusia dan manusia, manusia dengan
Tuhan dan, hubungan manusia dengan lingkungan secara seimbang dan selaras,
serasi, harmonis.
Peran Desa Adat dalam
Pariwisata Budaya
Ada
beberapa prinsip yang dipegang dalam perencanaan pembangunan pariwisata menuju
ke arah Pariwisata budaya yaitu : ( I
Made Suasthawa Dharmayuda, 2001 ;16 )
1.
Pembangunan
pariwisata harus mengikutsertakan masyarakat luas sejak perencanaan yang dapat
menjamin terwujudnya keseimbangan antara kepentingan ekonomi, kepentingan
sosial dan lingkungan.
2.
Peranan
Desa adat dan lembaga-lembaga adat harus ditingkatkan mengingat akar budaya Bali ada di desa adat, karena itu hubungan antara
pariwisata dan budaya lokal harus dikelola sehingga tumbuh hubungan yang saling
menguntungkan.
3.
Pembangunan
pariwisata tidak dikonsentrasikan di suatu tempat tetapi diarahkan pada
kawasan-kawasan yang telah direncanakan sehingga tidak terjadi kelebihan daya
dukung yang dapat merusak lingkungan.
4.
Pertumbuhan
dikendalikan pada tingkat modert sehingga mudah untuk dikendalikan.
5.
Keharmonisan
kebutuhan wisatawan, lingkungan setempat dan masyarakat lokal harus dijaga.
D.2. Arah dan Sasaran Pembangunan Pariwisata
serta Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pariwisata
Arah kebijaksanaan
pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Bangli adalah pembangunan pariwisata
budaya yang berwawasan lingkungan dan dijiwai agama Hindu melalui pengembangan
dan diversifikasi obyek, daya tarik, atraksi wisata sesuai dengan potensi dan
keunikan daerah serta dengan meningkatkan kesadaran dan peran aktif masyarakat.
Tujuan
yang ingin dicapai dalam pembangunan pariwisata di Bangli adalah :
1.
Untuk
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah.
3.
Memperhatikan
budaya dan keindahan alam Bangli.
4.
Mempertahankan
nilai-nilai agama, moral, citra dan kepribadian bangsa.
Sasaran
pembangunan pariwisata di Kabupaten Bangli adalah :
1.
Meningkatkan
jumlah kunjungan wisatawan.
2.
Meningkatkan
lama tinggal dan pengeluaran wisatawan.
3.
Pengembangan
pariwisata berkualitas.
4.
Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melestarikan
kebudayaan daerah
5.
Peningkatan pelestarian nilai-nilai budaya bangsa melalui
upaya pengungkapan, pengkajian dan penanaman nilai tradisi, adat istiadat dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salah Satu Kebijakan Pembangunan
Kebudayaan adalah, peningkatan budaya sebagai perekat bangsa, membina dan
mengembangkan kebudayaan nasional bangsa Indonesaia yang bersumber dari warisan
budaya leluhur bangsa, budaya bangsa yang mengandung nilai-nilai universal
termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung
terpeliharanya kerukunan umat hidup bermasyarakat dan membangun peradaban.
Strategi
Pembangunan budaya diantaranya :
Peningkatan
kualitas budaya masyarakat melalui penelitian, penanaman dan penyebarluasan
nilai-nilai budaya bangsa.
Merumuskan
kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia
yang mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas gerak dan
perilaku seluruh aspek kehidupan bangsa.
Mendorong
dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan, penyelamatan
dan pemanfaatan nilai-nilai luhur warisan budaya agar dapat bermanfaat bagi
kehidupan kesejahteraan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan jangka panjang pembangunan kebudayaan yaitu
diantaranya
Bangsa
yang mengenal dan menghargai serta mencintai tanah air agar adat istiadat dan
budaya Indonesia
tetap terpelihara.
Kelestarian
sistem budaya Indonesia
yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang
kondusif untuk menghadapi tantangan masa depan.
Kelestarian
kebudayaan daerah yang beraneka ragam dalam bingkai kebudayaan nasional Indonesia,
sebagai kebudayaan dan modal dalam pembangunan Nasional.
D.3.
Partisipasi Masyarakat
Salah
satu tujuan pembangunan yaitu partisipasi masyarakat secara aktif, dimana
adanya keterlibatan dan tergeraknya seluruh masyarakat dalam proses pembangunan
berencana sesuai dengan arah dan strategi yang telah ditetapkan melalui suatu
bentuk partisipasi dalam sistem politik. Di lain pihak proses pembangunan itu
sendiri diharapkan akan menimbulkan perluasan kesempatan kerja, dan adanya
kesempatan kerja anggota masyarakat dengan kesediaan dan kemampuan bekerja
masyarakat di dalamnya merupakan bentuk
partisipasi yang paling dasar.
Partisipasi
diartikan sebagai dana dan daya yang dapat disediakan atau dapat dihemat
sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat desa kepada proyek- proyek
pemerintah atau adanya keterlibatan masyarakat dalam penentuan arah
pembangunan, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah,
keterlibatan masyarakat dalam memikul beban dan dalam memetik hasil atau
pemanfaatan pembangunan, ( Bintoro dalam Ndraha,
1990 : 225-226 ).
Partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan mutlak diperlukan karena pada akhirnya
masyarakatlah yang akan menikmati hasil pembangunan tersebut. Dalam
perkembangan yang terjadi, menunjukan bahwa konsepsi partisipasi masih cendrung
diartikan secara salah kaprah. Atas nama partisipasi ataupun atas nama
gotong-royong, pemerintah seringkali meminta rakyat untuk ikut serta dalam
program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Keberhasilan
dari program pembangunan akan ditentukan oleh sejauhmana kebijakan yang
diformulasikan tersebut mendapat dukungan dari warga masyarakat, sebagus apapun
program dibuat, namun jika tidak memperhatikan aspirasi masyarakat pada
akhirnya juga berakibat kepada gagalnya program tersebut. ( R.Emrich dalam Suparjan Hempri Suyatno, 2004 : 65 ) ada
beberapa pedoman dalam penyusunan kebijaksanaan yang berisikan peningkatan
partisipasi yaitu :
1.
Partisipasi
harus dimulai dari tingkat paling bawah yaitu mengikut sertakan kelompok
penduduk paling miskin di desa.
2.
Partisipasi harus terjadi pada semua tahap proses
pembangunan.
3.
Suatu dukungan semata-mata bukanlah partisipasi.
4.
Partisipasi
harus mengandung isi berupa program-program nyata di bidang produksi dan
distribusi.
5.
Partisipasi
harus mengubah loyalitas organisasi atau kelompok yang sudah ada.
6.
Peningkatan partisipasi akan mengundang tantangan dari
pihak-pihak tertentu.
Menurut Diana Conyers ( Suparjan, Hempri Suyatno, 2003 : 53 ) dikatakan ada tiga alasan
utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat penting.
1.
Partisipasi
masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh
informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat,
yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2.
Masyarakat
akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan
dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui
seluk beluk proyek tersebut.
3.
Partisipasi
menjadi urgen karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi jika
masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat. Dalam konteks ini
masyarakat memiliki hak untuk memberikan saran dalam menentukan jenis
pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Dan hal tersebut sesuai
dengan konsep pembangunan yang diarahkan pada perbaikan nasib manusia dan tidak
sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri.
Pendekatan
partisipasi sebenarnya muncul sebagai upaya mengatasi kelemahan-kelemahan dari
pendekatan sentralistik dengan konsep yang dipakai pada masa orde baru. ( Bintoro
Tjokroamidjojo dalam Suparjan Hempri Suyatno, 2003 : 58 ) menyatakan kaitan partisipasi dengan pembangunan sebagai
berikut :
1.
Keterlibatan
aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam
proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah, hal ini terutama berlangsung dalam proses politik tetapi juga
dalam proses sosial hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam
masyarakat.
2.
Keterlibatan
dalam memikul beban dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini
dapat berupa sumbangan dalam memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan,
kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan
lain-lain.
3.
Keterlibatan
dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Bagian-bagian
daerah ataupun golongan-golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan
keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif mereka melalui perluasan
kesempatan-kesempatan dan pembinaan tertentu.
Menurut Subakti ( 1984 : 117 ) bahwa Partisipasi masyarakat
dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif,
partisipasi aktif dimana masyarakat mengajukan usul mengenai suatu kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan
pelaksanaan suatu keputusan, sedangkan partisipasi pasif adalah suatu kegiatan
melaksanakan keputusan pemerintah dan menerima saja keputusan pemerintah.
Sedangkan menurut Kaho ( 1991
: 114 ) dikatakan ada empat proses Partisipasi Yaitu , (1) Partisipasi dalam
proses perubahan keputusan, (2) Partisipasi dalam pelaksanaan, (3) Partisipasi
dalam pemanfaatan hasil, (4) Partisipasi dalam evaluasi.
Partisipasi masyarakat di
dalam mensukseskan pelaksanaan pembangunan di desa merupakan hal yang sangat
penting sehingga perlu upaya-upaya untuk menumbuhkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat dengan jalan adanya komunikasi yang baik antar pelaku
pembangunan.
Berdasarkan uraian-uraian
tersebut di atas nampak bahwa partisipasi masyarakat akan terjadi bila ada
timbal balik dan saling mendukung sehingga secara langsung kesadaran masyarakat
dalam berpartisipasi terhadap pembangunan semakin meningkat.
D.4. Institusi Lokal dan Pranata Kebudayaan
Pengertian Institusi (
lembaga, pranata ) dalam kehidupan sehari-hari bermacam-macam, namun biasanya
hanya merujuk pada organisasi yang bersifat fisik. Pengertian umum yang kedua
adalah entitas-entitas luas yang berskala besar yang dimaksudkan untuk melayani
kepentingan tertentu seperti keluarga, hukum, negara, agama dan sebagainya.
Maksud institusi inilah dipakai dalam sosiologi tradisi fungsionalis mulai
Herbert Spencer hingga Talcot Parson membedakan struktur fisik ( lembaga) dan struktur organik ( pranata )
dari suatu organisme dan kegiatan-kegiatan yang dijalankan. Bentuknya
bisa berupa organisasi, kelompok atau praktek tertentu yang berulang-ulang.
Institusi lokal atau
lembaga lokal lazim dikonsepkan sebagai organisasi sosial pedesaan yang tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan baik dilevel desa, pedukuhan maupun kumpulan
rumah tangga, dalam kehidupan masyarakat yang sudah relatif terbuka, lembaga
lokal cukup beragam. Lembaga lokal itu bisa terkait dengan pemerintah desa (
kepala desa dan perangkat desanya ), komunitas politik ( kalangan yang aktif
dalam kegiatan politik ), komunitas pengusaha atau pelaku bisnis, dan komunitas
sektor ketiga ( mereka yang bergerak dalam organisasi perempuan, adat,
keagamaan ). (
Sunyoto Usman, 2004;95 dalam Jalan Terjal Perubahan Sosial ).
Dalam spirit pembangunan
desa berbasis desa, peran lembaga lokal sangat penting atau diperlukan baik
dalam menjembatani aspirasi masyarakat maupun dalam menterjemahkan pelbagai
rupa inovasi dan gagasan yang datang dari pemerintah atau pemerintah daerah.
Esman dan Uphoff ( 1984 )
mengatakan bahwa pada dasarnya ada tiga elemen penting dalam masyarakat lokal
yaitu : pemerintah lokal, organisasi politk lokal, dan organisasi lokal.
Penguatan institusi lokal menjadi sangat
penting karena akan semakin memperkokoh arena masyarakat sipil sehingga
memiliki posisi tawar ( bargaining
potition ) yang kuat dan sejajar dengan 3 arena lainnya ( Negara / pemerintah,
masyarakat politik,dan masyarakat ekonomi ). Institusi lokal dapat menjadi
saluran penyampaian dan pemenuhan aspirasi bagi masyarakat / anggotanya,
sehingga kebijakan-kebijakan publik tidak lagi didominasi oleh pemerintah atau
parlemen atau pasar saja ( Krisdyatmiko, 2004 ; 63 )
Manfaat-manfaat yang
didapat dari penguatan Institusi lokal :
1.
Masyarakat
dapat meningkatkan ikatan sosial secara lebih intens dengan adanya kesamaan
tujuan dan cara pandang yang dibangun bersama.
2.
Masyarakat
terbiasa untuk membicarakan secara bersama-sama apa yang menjadi kepentingan
dan kebutuhan mereka, dalam suatu forum yang demokratis.
3.
Masyarakat
mengalami bagaimana menyusun aturan main bersama.
4.
Masyarakat
memiliki wadah mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan riil mereka secara
bersama-sama.
5.
Masyarakat
mengalami dan mengerti mekanisme pengambilan keputusan secara kolektif yang
didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bersama.
6.
Masyarakat
mengalami konsekuensi menerima hasil keputusan bersama untuk dilaksanakan
secara bersama-sama pula.
7.
Masyarakat
mengalami pembelajaran dan meresolusi konflik yang bisa jadi menyertai proses
dan hasil pengambilan keputusan.
8.
Masyarakat
berani memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara dalam kerangka
advokasi kebijakan publik.
9.
Masyarakat
merasakan manfaat keberadaan suatu jaringan kerja sama dalam pemenuhan
kebutuhan bersama.
10.
Masyarakat
merasakan manfaat dari keberadaan institusi lokal sebagai arena yang mampu
memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan mereka.
Pranata Kebudayaan
Pranata kebudayaan atau
institusi merupakan kelakuan berpola dari manusia dan kebudayaannya , seluruh
kelakuan manusia yang berpola dapat dirinci menurut fungsi-fungsi khususnya
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, suatu sistem aktivitas khas dari
kelakuan berpola inilah yang disebut dengan pranata kebudayaan atau culture institution. ( Koenjaraningrat 1979 ;
181- 182 ) membedakan menjadi 8
kelompok pranata kebudayaan :
1.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan yang sering disebut Kinship institutions.
2.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia untuk pencaharian hidup,
memproduksi, menimbun,mendistribusikan harta benda yaitu disebut Economic Institutions.
3.
Pranata
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia
supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna disebut educational institutions.
4.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta dan
sekelilingnya disebut scientific
Institutions.
5.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia akan rasa keindahan dan rekreasi
disebut Easthetic Institutions.
6.
Pranata
yang bertujuan untuk memenuhi rasa ketuhanan atau alam gaib disebut Religious Institutions.
7.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk mengatur kehidupan
berkelompok secara besar atau negara disebut Political Institutions.
8.
Pranata
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia akan jasmaniah disebut Somatic Institutions.
D.5.
Pengendalian Sosial / Nilai-nilai Budaya
Dalam suatu masyarakat agar
hidup aman dan tentram diperlukan aturan yang mengatur perilaku warganya. Warga
masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari aturan sudah pasti akan
menimbulkan ketegangan, keresahan dan kekacauan, oleh karena itu perlu adanya
lembaga adat sebagai hakim dengan acuan awig-awig desa setempat.
Soekanto ( 1998;226)
mengemukakan bahwa Pengendalian sosial / pengawasan sosial adalah segala proses
baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan yang bertujuan untuk
mendidik,mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar memenuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Pendapat tersebut
mengandung makna bahwa pengendalian sosial dapat dilakukan secara vertikal dari
atas oleh penguasa/pemerintah terhadap masyarakat, ataupun dari bawah oleh
masyarakat terhadap pemerintah dan secara horizontal oleh masyarakat terhadap
masyarakat sendiri.
Pengawasan mencakup kepada
pengawasan individu kepada individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan
individu, serta kelompok dengan kelompok.
Mengenai bentuk
pengendalian sosial, Sirtha ( 1997;157) merujuk kepada Black ( 1984;8) mengatakan bahwa tindakan yang
menyimpang yang dilakukan oleh penguasa hukum maupun masyarakat dapat
diklasifikasikan menjadi :
Pengendalian
sosial pinal yaitu mengenakan tindakan dengan acuan pidana.
Pengendalian
sosial kompensasi yaitu menuntut kepada pihak lain untuk memenuhi kewajiban.
Pengendalian
sosial therapentik yaitu berupaya untuk memperbaiki keadaan yang sudah terganggu.
Pengendalian
sosial konsilasi yaitu para pihak mencari pemecahan bersama secara damai atau
bisa lewat mediator.
Bentuk pengendalian sosial
ada yang formal yaitu norma-norma tertulis dan berasal dari pihak-pihak yang
mempunyai kewenangan atau kekuasaan formal, dan bentuk pengendalian non formal
yaitu hukum tidak tertulis.
Soekanto (1998;226)
mengemukan bahwa pengendalian sosial
dapat bersifat prepentif dan represif, dimana prepentif yaitu upaya
pencegahan yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran. Sedangkan
represif yaitu tindakan sosial yang
dilakukan setelah terjadinya pelanggaran.
Pengendalian sosial lebih
efektif harus berpijak pada nilai-nilai atau norma yang mengatur tata kehidupan
masyarakat yang disebut hukum adat, sedangkan
hukum adat adalah mencakup keseluruhan peraturan yang menjelma dalam
peraturan-peraturan para pejabat hukum yang mempunyai wibawa dan pengaruh serta di dalam pelaksanaannya
secara serta merta dan dipatuhi sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh
peraturan itu (Taneko, 1987;7 ).
Nilai-nilai budaya
Theodorson ( 1979;445) yang
dikutif oleh Pelly dan Menanti ( 1994;10) mengemukanan bahwa nilai merupakan
sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam
bertindak dan tingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai
sangat kuat dan bahkan dapat bersifat emosional. Oleh sebab itu nilai dapat
dilihat sebagai pedoman bertindak sekaligus tujuan kehidupan manusia itu
sendiri.
Menurut Busro ( 1989;1 )
sesuatu yang bernilai adalah berharga, yang berharga adalah berguna,
bermanfaat, baik bagus dan benar, semua hal tersebut dihargai berarti bernilai.
Koentjaraningrat ( 1997;76)
berpendapat bahwa Nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga
masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum, memilki ruang lingkup yang
sangat luas dan biasanya sangat sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Namun justru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dalam jiwa
seseorang. Lagi pula sejak kecil orang telah diresapi oleh berbagai nilai
budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep budaya itu telah
berakar dalam jiwanya, karena itu untuk mengganti suatu budaya yang telah
dimiliki dengan budaya lain diperlukan waktu lama.
Selanjutnya Koenjaraningrat
mengatakan sebagai berikut : sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai
suatu pedoman orientasi bagi segala tindakkan manusia dalam hidupnya. Suatu
sistem nilai budaya merupakan sistem tata tindakkan yang lebih tinggi daripada
sistem-sistem norma, hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, aturan
sopan santun dan sebaginya.
Dari pandangan tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah serangkaian konsep yang
abstrak, umumnya terdapat dalam alam pikiran manusia mengenai sesuatu yang
dianggap baik,benar,bermanfaat,penting dan berharga yang dipakai sebagai
pedoman orientasi dan motivasi dalam bertindak. Nilai budaya inilah yang
merupakan inti dari kebudayaan.
Nilai-nilai yang lama perlu
digali kembali seperti gotong-royong,musyawarah mufakat dan nilai-nilai budaya
luhur lainnya yang merupakan warisan budaya kita perlu dilestarikan,
nilai-nilai budaya bangsa yang menuju kearah kemajuan adab serta mempertinggi
derajat kemanusiaan, kesesusilaan dan ketertiban umum guna memperkokoh jati
diri bangsa dalam mewujudkan pembangunan
pariwisata harus diperhatikan
hal-hal sebagai berikut : ( Diklat Teknis Pariwisata Tingkat dasar, 2004;22 )
Kemampuan
untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial
budaya.
Nilai-nilai
agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Kelestarian
budaya dan mutu lingkungan hidup.
D.6. Peranan Lembaga Adat / Desa
Pakraman
Peranan merupakan aspek dinamika suatu
status proses penetapan kebijakan umum dan penyusunan rencana pelaksanaanya,
yang dilakukan oleh lembaga dapat dianggap sebagai peranan strategis, yakni
oleh Collins ( 1983 dalam draha,
1987;111) disebut sebagai peranan dasar. Peranan dasar ini yang oleh Simpas dan
Mokhzaini (1979 dalam Ndraha, 1987,112) disebut sebagai peranan administratif,
yakni pola perilaku yang diharapkan dari atau yang telah ditetapkan bagi
lembaga atau pemerintah selaku administrator disetiap jenjang pembangunan
melalui kemampuan administratif, organisasi lokal dapat melakukan berbagai peranan
menentukan orang atau lembaga apa yang diberikan oleh masyarakat.
Ely Choniy dalam Soekanto,
( 1987;220 ) mengatakan pentingnya peranan mengatur perilaku dan juga
menyebabkan seseorang pada batas tertentu dapat meramalkan perbuatan organisasi
lain sehingga yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilakunya dengan
perilaku orang lain atau kelompok, peran sosial adalah pola tingkah laku yang
diharapkan, yang terkait dengan status sosial seseorang dalam suatu kelompok
atau dalam suatu situasi tertentu.
Levison
dalam Soekanto ( 1987;221 ) juga mengatakan bahwa peranan mencakup tiga hal.
1.
Peranan
meliputi norma yang dihubungkan dengan proses seseorang dalam masyarakat
sehingga dalam hal ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang
dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.
Peranan
adalah suatu konsep perilaku apa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat
sebagai organisasi.
3.
Peranan
juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat.
Lembaga Adat/ desa Pakraman
Lembaga adat dalam hal ini
merupakan lembaga lokal yang ada dilapisan masyarakat, seperti dikatakan Esman
dan Uphoff ( 1982;IX, dalam
Ndraha, 1987;132) bahwa organisasi masyarakat dinamakan organisasi lokal adalah
dikarenakan merupakan asosiasi penduduk desa yang bertanggungjawab kepada para
anggotanya dan terlihat sebagai kegitan pembangunan. Lembaga
adat ini seperti desa pakraman yang secara historis tumbuh dan
berkembang dari bawah karena tuntutan kodrati manusia sebagai mahluk sosial,
dan sepakat untuk hidup bersama dalam suatu ikatan tertentu guna mempermudah
pencapaian tujuan, atau pemenuhan berbagai kebutuhan. Kekuasaan tertinggi pada
desa pakraman terdapat pada rapat anggota atau sangkepan, sedangkan pimpinan
adat atau bendesa adat hanya berfungsi sebagai pemegang mandat dari krama atau
warga desa.
D.7. Pelestarian Desa Adat Tradisional
Penglipuran
Pelestarian berasal dari
kata lestari, menurut Kamus Umum bahasa Indonesia (2000). Lestari berarti tetap
seperti keadaannya semula, tidak berubah, kekal. Dari kata dasar lestari itu
muncul kata melestarikan yang berarti menjadikan, membiarkan tetap tidak
berubah, membiarkan tetap seperti sedia kala atau seperti keadaan semula,
mempertahankan kelangsungannya, pelestarian berarti perlingdungan dari
kemusnahan atau kerusakan, pengawetan, konservasi.
Dari pengertian kata
lestari tersebut di atas konsep yang menonjol adalah usaha menjadikan “ sesuatu
“ itu tetap seperti keadaannya semula, dan melindungi agar tidak musnah atau
rusak. Walaupun demikian lestari tidak berarti statis, jadi dalam konsep
lestari itu sendiri ada dinamika, yaitu perubahan atau perkembangan menuju pada
suatu keadaan yang lebih baik. Dengan demikian makna pelestarian mengandung dua
dimensi yaitu dimensi statis yang berarti mempertahankan status quo dan dimensi
dinamis yang berarti mengandung dinamika transpormatif. Jadi sesuatu yang
dipertahankan atau dilindungi, dan dijaga agar tidak rusak atau musnah dan
terpelihara menjadi baik seperti desa tradisional Penglipuran.
Desa Tradisional Penglipuran
Desa Tradisional
Penglipuran merupakan suatu daerah yang terletak dikelurahan Kubu yang
mempunyai predikat desa tradisional, dimana desa tersebut seperti telah
dijelaskan diatas merupakan daerah yang mempunyai keunikan tersendiri dan
berbeda dengan desa lainnya. Dikatakan tradisional dimana warga desa ini masih
memegang teguh adat istiadat daerah setempat, dan sampai sekarang tetap eksis.
Adat istiadat tersebut tetap berjalan sebagaimana mestinya dan dipatuhi oleh
warga. Keunikan selain yang telah diuraikan di atas juga terdapat keunikan yang
lain-dari pada yang lain seperti pada upacara ngusaba Bantal yang jatuh pada
bulan September dan pada bulan ini jatuh pada tanggal 27 September 2005 dimana pada upacara ngusaba
bantal diadakan di dua tempat pura, pada pagi hari dilaksanakan ngusaba di pura
Dalem Pingit yang terletak di Tenggara Desa aturan sesajen semua berbahan
ketan, dan yang boleh masuk ke jeroan hanya muda mudi saja disertai pemangku
disana, sedangkan pada malam harinya dilakukan ngusaba bantal di pura Dalem
Pingit yang terletak di Barat daya desa. Upacara ini dilakukan tengah malam
sekitar pukul 24.00 waktu setempat, dan juga keanehan yang ada disana yang boleh
masuk ke dalam jeroan pura untuk menghaturkan
sesajen adalah muda mudi, dimana perempuan yang belum akil balik dan yang laki
belum menikah. Dalam pelaksanaan upacara dilakukan malam hari menjadi hening
mungkin ini dikatakan tidak boleh bicara waktu upacara tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh
I Wayan subur Kepala Lingkungan Desa
Pakraman Penglipuran pada wawancara tanggal 26 september 2005 bahwa,
Tiang
wantah apisan uning ngeranjing ke jeroan pura punika, kala titiang wawu menek
teruna, santukan wenten dresta sane sampun sakeng wuni sampun kelaksanayang
nenten dados ngeranjing, sane dados ngeranjing wantah kaula daha sane durung
mentas teruna. Sane istri durung men.
Dresta punika kemargian kala mangkin.
( saya hanya tahu sekali masuk ke dalam pura itu
waktu masih muda dulu, karena sudah ada aturan yang sudah dilaksanakan dari
dulu bahwa yang boleh masuk hanya yang masih muda dan yang perempuan belum
akhil balik. ( mentruasi ). Dan aturan itu hingga sekarang masih tetap berjalan
).
E. METODE PENELITIAN
E.1.
Penelitian Kualitatif
Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode penelitian kualitatif . Dimana Penelitian kualitatif menurut Moleong ( 1996 ) bertolak dari asumsi
tentang realitas sosial yang bersifat unik, kompleks dan ganda. Didalam
kegiatan penelitian kami lakukan mencari
informasi-informasi seluas-luasnya kearah keragaman atau variasi yang ada.
Berdasarkan hal
tersebut dalam penelitian ini diambil
informan yang dapat memberikan informasi yang mantap dan terpercaya mengenai
fokus penelitian. Atas dasar tersebut informan yang dijadikan sebagai nara sumber adalah (1)
Kepala Adat atau Bendersa Adat yang memahami adat setempat. (2) kepala Desa/
Lurah dan Kepala Lingkungan / Kepala Dusun. (3) Tokoh-tokoh Adat atau tokoh
Masyarakat. (4) Generasi muda yang
sebagai penerus dalam pelestarian desa tradisional. ( 5 ) LSM,Pihak Pemerintah
dan swasta.
Penunjukan informan diawali
dengan informan kunci sebagai pemberi informasi paling awal atau utama, dari
informasi utama ini dapat diketahui informan berikutnya. Dari setiap informan
dapat diketahui atau diminta untuk menunjuk informan berikutnya, sehingga
jumlah informan semakin banyak. Informan tidak dibatasi jumlahnya dan
tergantung pada data informan yang diberikan apakah sudah cukup sah ( valid )
dan diandalkan. Dari pelaksanaan penelitian ini dapat diambil sebanyak 20 orang
narasumber sebagai informan.
Bogdan dan Taylor memberikan pengertian tentang teknik
penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. (Bogdan dalam Meleong, 1990:3).
Dengan metode ini dapat
mengantarkan penulis untuk mengenal secara lebih mendalam individu-individu
dalam suatu komunitas yang terlibat dalam peristiwa yang berkaitan dengan
masalah penelitian ini. Pendekatan kualitatif ini peneliti akan menyampaikan
uraian-uraian suatu kasus tertentu secara mendalam dan sistematis, berupa
analisis dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen-dokumen lainnya yang
berasal dari sumber yang dapat dipercaya.
E. 2. Lokasi Penelitian
Daerah
obyek penelitian yaitu Desa Pakraman
Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Alasannya adalah warga
masyarakat Desa tradisional Penglipuran
masih memegang teguh tradisi dan kebiasaan sampai sekarang dangan asumsi cukup kuat berpegang pada tradisi Adat
atau kebiasaan sehingga fungsional, selain itu desa Pakraman Penglipuran ini mempunyai suatu keunikan dan ciri khas
tersendiri , dan berbeda dengan desa-desa lain yang ada di Bali. Selain itu
letak obyek penelitian jaraknya tidak begitu jauh sehingga dalam pelaksanaan penelitian
terjadi efektifitas waktu dan biaya..
E.3. Teknik
Pengumpulan data
Untuk
mengumpulkan data diperlukan instrumen atau alat pengumpul data, yang
sebenarnya sudah diawali pada tahap orientasi berupa pertanyaan-pertanyaan
pendahuluan dan pengenalan situasi lapangan. Instrumen / alat pengumpul data
yang dipergunakan yaitu
1. Data Primer, meliputi:
a.
Wawancara
( Interview )
Teknik
wawancara merupakan suatu teknik yang sangat penting karena tradisi atau
kebiasaaan Adat yang diterapkan di desa Adat Penglipuran masih banyak yang
tidak tertulis, disamping itu untuk mendapatkan gambaran apakah
kebiasaan-kebiasaan aturan Adat masih fungsional atau tidak. Dengan wawancara
yang mendalam dapat diungkapkan nilai budaya masyarakat desa Pakraman
Penglipuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Spraley ( 1997 ; 9 ) bahwa untuk
menyimpulkan suatu budaya harus menyelami alam pikiran masyarakat. Wawancara secara mendalam yang dilakukan dengan cara mengajak informan
berbicara serius dan menjurus pada topik permasalahan. Wawancara mendalam ini
dilakukan untuk menjaring data sebanyak-banyaknya. Sedangkan interview guide
digunakan agar data terfokus pada topik yang hendak diungkap serta untuk
menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari masalah yang diteliti
yang mungkin tidak disadari dilakukan oleh peneliti. Yang akan dijadikan
informan kunci adalah pihak yang terkait dengan permasalan serta
tokoh-tokoh adat , aparat desa serta
warga masyarakat yang penyusun anggap
dapat memberikan keterangan terkait dengan data.
b. Pengamatan
( Observasi )
Metode ini dilakukan dengan cara mengamati
secara langsung atau terlibat secara langsung atau tidak langsung untuk memahami
kebiasaan atau perilaku masyarakat, dengan pengamatan ini dapat dilihat dan
dicatat berbagai hal atau peristiwa yang dilakukan masyarakat seperti upacara
Adat, tatacara Adat, tradisi-tradisi kesehariannya yang berhubungan dengan
pelestarian, sebagai acuan observasi adalah upacara yang sedang berlangsung
atau hasil yang didapat diamati secara fisik.
c. Studi
Kepustakaan,
Studi Kepustakaan yaitu dengan mencari bahan dari
literatur atau buku-buku yang berkaitan dengan penelitian di instansi-instansi
yang terkait dengan masalah serta perpustakaan yang banyak mengoleksi buku-buku
literatur tentang masalah yang diteliti penyusun . selain itu studi ini
bertujuan dengan memilah berbagi tulisan-tulisan ilmiah, atau teori-teori yang
relevan dengan topik atau permasalahan. Studi kepustakaan secara khusus juga
dilakukan untuk mendapat justifikasi dan pemikiran rasional yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
d.
Dokumentasi
Dokumentasi
dilakukan dengan meneliti bahan tertulis atau dokumentasi penting lainnya atau
arsip-arsip yang berhubungan dengan topik atau permasalahan. Dokumentasi
tersebut berupa Keputusan-Keputusan Pemerintah, Keputusan-keputusan Adat yang
telah dituangkan secara tertulis.
2, Data
Sekunder, meliputi
1.
Data dari kantor Statistik Kabupaten
Bangli mengenai data jumlah penduduk, struktur mata pencaharian, jumlah tingkat
pendidikan penduduk dan lain-lain.
2. Data dari kantor kecamatan Bangli mengenai
data monografi Desa
3. Data
kondisi wilayah penelitian baik aspek fisik., sosial budaya maupun ekonomi
penduduk.
Namun
yang lebih penting dalam jenis penelitian kualitatif sebagaimana salah satu
ciri penelitian kualitatif yaitu meletakan manusia sebagai alat atau instrumen.
Penelitian
sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data yang utama
sehingga mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan yang ada di
lapangan, dapat berhubungan dengan informan atau obyek penelitian dan mampu
memahami kaitan dari kenyataan di lapangan
( Moleong, 1990;4 ). Oleh karena
itu langkah pertama yang dilakukan di lapangan yaitu menjalin keakraban antara
peneliti dengan informan dengan cara memahami situasi dan latar belakang dari
subyek serta membangun suatu penelitian positif dari informan terhadap
peneliti.
E.4.
Teknik Analisa data
Analisa data dilakukan dengan
teknik atau metode analisa interkatif yaitu data tersebut dianalisa melalui
siklus yang terdiri atas beberapa komponen, yaitu pengumpulan data, reduksi
data , sajian data dan penarikan kesimpulan yang biasa menggunakan model flow
atau model interaktif. Teknik siklus yang interaktik ini bertujuan agar sebelum
sampai pada tingkat sajian data yang benar-benar andal dan terpercaya dipandang
perlu diadakan pengecekan kembali.
Model
siklus tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
E.5.
Teknik Pemeriksaan Keabsahan data
Teknik
pemeriksaan keabsahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
trianggulasi. Tujuan
trianggulasi adalah untuk mengecek kebenaran data tertentu dengan membandingkan
data yang diperoleh dari sumber lain pada berbagai fase penelitian di lapangan,
pada waktu yang berlainan dan pada metode yang berlainan, model trianggulasi
data ini dilakukan dengan cara melakukan :
1.
Membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2.
Membandingkan
apa yang dikatakan orang didepan umum dengan yang dikatakan secara pribadi.
3.
Membandingkan
keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan.
4.
Membandingkan
hasil wawancara dengan isi suatu dokumentasi terkait ( Moleong, 1990 )
BAB
II
DESKRIPSI
WILAYAH DESA PAKRAMAN PENGLIPURAN
KELURAHAN KUBU KABUPATEN BANGLI
A. Desa Adat ( Pakraman )di Bali
A.1. Sejarah
Desa Adat
Sekitar abad 9 jaman Bali Kuna, masyarakat Bali telah
mengenal masyarakat desa yang disebut “ Krama “ dan tempat atau wilayah dimana
krama berada disebut desa atau desa pakraman. ( Wanua,Tani
) desa ini pada awalnya merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri
pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tertentu. Kemudian dengan
munculnya pengaruh kekuasaan Hindu Jawa Abad 14 adanya pengaruh Hindu
menjadikan desa berfungsi ganda yaitu sebagai kelompok cikal bakal pemujaan
leluhur atau religius dan fungsi sosial politik yang dibina raja (
keturunan Majapahit abad 16 ).
Masuknya kekuasaan
Pemerintahan Hindia Belanda ke Bali ( 1906-1908 ) ingin mengantikan posisi
kerajaan atas desa-desa di Bali. Pemerintah
Belanda memanfaatkan Perbekel ( Kepala
Desa ) sebagai wakilnya untuk mengawasi keadaan di desa. Dengan perbekel
yang diangkat sendiri, belanda membangun satu lembaga administrasi di tingkat
desa dengan membentuk desa baru bentukan kolonial. Dengan desa yang baru ini di
harapkan didalamnya akan terdapat 200 orang penduduk yang siap menjalani kerja
rodi.
Dengan demikian muncul dua desa
yaitu desa lama ( desa
adat atau Pakraman ) dan desa baru ( desa dinas ). Namun dengan begitu sesungguhnya
pemerintah kolonial telah bertindak kontradiktif, dimana disatu pihak ingin
melestarikan desa pakraman yang mandiri dengan hukum adatnya dan di lain pihak
mewujudkan kepemimpinan desa baru (
dinas) yang lepas dari akar budayanya.
Setelah kemerdekaan maka lahirlah Undang-undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dimana desa dinas dijadikan desa sebagai
perangkat pemerintah yang terendah dan langsung dibawah camat. Sedangkan desa
Pakraman tetap mendapat pengakuan lewat pasal 18, UUD, 1945. ( I Made
Susatawa Dharmayuda, Desa Adat, 2001,1 )
A.1. Pengertian Desa
Kata Desa
adalah suatu perkataan yang sangat popular di Bali dipergunakan untuk menunjuk
suatu wilayah pemukiman penduduk yang beragama Hindu dan menurut Pasal 1 huruf
o dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menentukan bahwa, Desa atau yang
disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten.
Desa dalam bahasa Bali
bukan saja digunakan untuk menunjuk suatu wilayah pedesaan, akan tetapi juga
dipakai untuk menyatakan suatu situasi menurut tempat,waktu dan keadaan yang
dihadapi dalam kenyataannya yaitu istilah Desa
Kala Patra.
Menurut Soetardjo Kartohadi Koesoemo, kata desa
berasal dari bahasa sansekerta yang artinya tanah air,tanah asal dan tanah
kelahiran.
Demikian juga yang dikatakan R. Soepomo, bahwa desa
yang ada sekarang di Indonesia
sudah di kenal sejak jaman Hindu. Desa–desa di Indonesia banyak sekali serta
mempunyai adat istiadat yang berbeda pula.
Sedangkan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dikatakan bahwa, Desa adalah suatu wilayah
yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perbedaan
Desa Adat dengan Desa Dinas
1.
Jumlah desa adat di Bali
lebih kurang 1305 buah sedangkan desa Dinas atau desa Administrasi pemerintahan
sejumlah 600 buah
2.
Eksistensi desa Dinas tergantung kepada kehendak Pemerintah
sedangkan desa adat adalah tergantung masyarakat adat sendiri karena desa adat
merupakan suatu lembaga dari masyarakat sendiri dan bersifat tradisional
sebagai perwujudan dari lembaga adat.
3.
Potensi desa adat bersifat tradisional, orisinil dan
spesifik dimana potensinya cukup besar bagi penunjang pembangunan nasional di
negara kita antara lain :
a.
dalam
bidang sosial Budaya
b.
dalam
bidang Politik
c.
dalam
bidang Ekonomi
d.
dalam
bidang desa adat sebagai lembaga masyarakat.
A.3. Pengertian
Desa Adat
Kata adat bukanlah kata yang berasal dari Indonesia atau
bahasa daerah di Indonesia, melainkan berasal dari bahasa Arab yang artinya
Kebiasaan dan pelbagai suku yang ada di Indonesia mengunakan dengan
istilah-istilah yang berbeda seperti daerah Gayo dinamakan Odot, Jawa Tengah
dinamakan Adat atau Ngadat, Minangkabau disebut Lembago atau adat Lembago,
sedangkan menurut Perda Nomor 6 Tahun 1986 Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah
Kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga
yang mempunyai wilayah dan harta kekayaan serta berhak mengatur rumah tangga
sendiri.
Menurut I Wayan Surpha , Desa adat di Bali adalah suatu
lembaga religius yang bersifat Hinduistis atau lembaga sosial keagamaan Hindu
di Tingkat desa oleh karena adat berfungsi untuk menata,mengatur dan membina
kehidupan sosial warga desanya terutama sekali di dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agama Hindu yang meliputi fatwa kesesusilaan agama, dan
upacara-upacara agama atau upacara yadnya.
Secara teoritis pengertian Desa Adat dikemukakan oleh
Raka ( 1955;19) sebagai berikut :
Desa
Adat adalah suatu kesatuan wilayah dimana para warganya secara bersama-sama
mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian
desa. Rasa kesatuan sebagai warga Desa adat
terikat oleh karena adanya karang desa
( wialayah desa ), awig desa ( system aturan desa dengan
peraturan-peraturan pelaksanaannya ), dan pura Kahyangan Tiga (
Tiga pura Desa, sebagai satu system tempat persembahyangan bagi warga desa Adat
).
Sedangkan pengertian Desa Adat secara formal ditemukan
dalam Peraturan Daerah ( Perda ) Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 pasal 1 (e)
sebagai berikut :
Desa
Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga ( kahyangan Desa )
yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri.
Ciri - ciri dari
desa adat yaitu :
1.
Kesatuan
masyarakat Hukum adat di Propinsi Bali
2.
Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun
3.
Dalam
ikatan Kahyangan Tiga
4.
Mempunyai
wilayah tertentu
5.
Mempunyai
harta kekayaan sendiri
6.
Berhak
mengurus rumah tangganya sendiri
Sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat, berarti desa
adat diikat oleh adat istiadat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan masyarakat setempat, hukum adat yang lebih dikenal dengan awig-awig
adalah merupakan pedoman dasar dari Desa Adat atau Desa Pakraman dalam pemerintahannya.
Disamping ikatan hukum adat, desa
pakraman juga diikat oleh tradisi dan tata krama. Tradisi adalah kebiasaan luhur dari
leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Sedangkan tata krama adalah etika
pergaulan, yang juga merupakan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya
ditegaskan bahwa tradisi dan tata krama itu berasal dari budaya atau ajaran
agama.
Kuatnya ikatan keagamaan di desa adat atau pakraman
ditunjukan adanya pengikat relegius berupa Khayangan Tiga. Dalam desa adat atau
pakraman, Khayangan Tiga atau Khayangan Desa menempati posisi hulu atau kepala,
sehingga bagi desa pakraman khayangan inilah memberi inspirasi, kekuatan dan
tempat memohon keselamatan untuk warga desa seluruhnya.
Desa Pakraman dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana
menurut hukum adat disebut “ Prabhumian
Desa “ atau Wewengkon Bale Agung” wilayah Desa Pakraman ini
sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan desa adat atau
pakraman berdasarkan hak pengurus wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak
ulayat desa pakraman.
Desa Pakraman mempunyai hak untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, ini artinya desa adat atau pakraman mempunyai otonomi. Hak
dari desa pakraman mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak
berasal dari kekuasaan pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga isi dari
otonomi desa adat atau pakraman seakan-akan tidak terbatas. Secara garis besar
otonomi desa adat atau pakraman mencakup :
membuat
aturan sendiri ( dalam hal ini berupa awig-awig )
melaksanakan
sendiri peraturan yang dibuat ( melalui Prajuru )
mengadili
dan menyelesaikan sendiri ( dalam lembaga kerta desa )
melakukan
pengamanan sendiri ( melalui pekemitan, pegebagan, dan pecalangan )
Sedangkan
dalam buku petunjuk pembinaan desa adat atau pakraman disebutkan bahwa peran
desa adat atau pakraman mengacu pada tugas dan wewenang dari desa adat atau
pakraman sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman, berdasarkan Pasal 5 wewenangnya sebagai berikut :
a.
Membuat
awig – awig
b.
Mengatur
krama desa
c.
Mengatur
pengolahan harta kekayaan desa
d.
Bersama-sama
pemerintah melaksanakan pembangunan disegala bidang terutama dibidang
keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan.
e.
Membina
dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan
dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada
khususnya, berdasarkan “ paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung sabhayantaka”
( musyawarah mufakat );
f.
Mengayomi
krama desa.
Selanjutnya
dalam Pasal 5 dirumuskan bahwa wewenang desa pakraman mencakup :
Menyelesaikan
sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan
dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig.
Turut
serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di
wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana.
Melakukan
perbuatan hukum di dalam dan diluar desa pakraman
A.4. Tipe Desa Adat
Desa Adat bersifat otonom dan dikaitkan dengan konsep Desa
– Kala – Patra, maka terbuka kemungkinan terjadi berbagai variasi antar Desa
Adat di Bali. Menurut MPLA Bali ( dalam Pitana 145 ) menyatakan bahwa berdasarkan
berbagai tradisi dominan yang menjadi ciri Desa Adat maka Desa Adat di Bali
dapat dibedakan atas tiga tipe desa, yakni :
a. Desa Bali Age ( Bali Mula ) , yaitu Desa
Adat yang masih tetap mengikuti tradisi pra Majapahit. Pada masa desa-desa
seperti ini tidak dikenal adanya sistem kasta, pendeta tertinggi tidak
melakukan upacara padiksan, dan kepemimpinan desa umumnya menganut pola kembar
ataupun kolektif.
b. Desa
Apanaga yaitu Desa Adat yang sistem kemasyarakatannya sangat dipengaruhi oleh
Majapahit, sebagaimana disebutkan dalam Nagarakertagama, mengikuti hukum Hindu
yang diterapkan di Majapahit, yang bersumber pada Manawadharmasastra. Desa
–desa ini umumnya terletak di daerah Bali
dataran. Kepemimpinan pada desa tipe ini umumnya merupakan kepimpinan tunggal.
c. Desa
Anyar ( Desa Baru ) yakni Desa Adat yang terbentuk relatif baru,sebagai akibat
dari adanya perpindahan penduduk (
transmigrasi lokal ) dengan tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti
ini misalnya dapat ditemui di daerah Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng di
bagian Barat.
A.5. Dasar hukum Otonomi Desa Adat
Untuk memahami secara baik tentang
dasar hukum otonomi Desa Adat perlu disimak beberapa sumber yaitu :
Pertama, Undang-undang Dasar 1945
Bab VI Pasal 18 serta Penjelasannya tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut
:
“………………………………..
II.
Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende
Landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di
Minangkabau, Dusun dan warga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa.
Negara
Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah. Daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah
tersebut “
Kedua
: Peraturan
Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan,
Fungsi dan Peranan Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum adat Dalam Propinsi
Daerah Tingkat I Bali, Pasal I (e) sebagai berikut :
Desa
Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat
di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi
dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga ( Kahyanagn Desa ) yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Ketiga
: Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian
serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga
Adat di Daerah dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Desa / Kabupaten Bab
I Pasal I (e) sebagai berikut :
Lembaga
Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun
yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam suatu masyarakat hukum
adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah
hukum tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang terkait dengan dan mengacu pada
adat-istiadat dan hukum adat yang berlaku.
A.6. Struktur
Kelembagaan Desa Adat dan Tanggungjawab
Bendesa Adat
Struktur
Desa Adat dalam pengorganisasian mempunyai
:
1. Kepela
Desa Adat yang dinamakan Bendesa Adat atau ada pula yang menamakan Kelihan Desa
Adat, Bendesa berasal dari dua kata dalam bahasa Bali yaitu Banda yang artinya
tali pengikat, dan desa yang berarti pula krama desa atau warga.
2.
Petajuh adalah wakil Bendesa
Adat
3.
Penyarikan adalahu juru tulis
4.
Kesinoman adalah juru arah
5.
Pemangku adalah yang
membidangi urusan upacara agama di Pura
7.
Pasedahan
/ Patengen adalah bendahara
Tanggung
Jawab Bendesa Adat ( unsur ketua )
1.
Bertanggung
jawa atas pelaksanaan program desa adat, baik yang menyangkut masalah Parhyangan,
Pawongan dan Palemahan desa
2.
Mengkoordinasikan
berbagai kegiatan yang direncanakan oleh para petajuh.
3.
Memimpin
pesamuan desa
4.
Mewakili
desa adat untuk urusan ke luar desa, baik di dalam maupun di luar pengadilan
5.
Bersama-sama
petajuh widang pawongan, menyelesaikan persengketaan antar warga desa
6.
Mengadakan
koordinasi dengan desa adat lainnya
7.
Menunjukan
tutus desa
8.
Menegakkan
ketentuan awig-awig
9.
Ngrincikan
perubahan awig-awig
10.
Ngrincikan
perarem
11.
Mengadakan
koordinasi pembinaan kegiatan sekaa teruna
12.
Untuk
kegiatan yang sifatnya sangat khusus, bendesa adat dapat membentuk panitia.
A.7. Fungsi
Desa Adat
Sesuai dengan namanya, maka fungsi desa adat yang
terutama adalah memelihara, menegakan dan memupuk adat istiadat yang berlaku di
desa adatnya dan yang diterima secara turun temurun dari para leluhurnya.
Jika melanggar adat maka dikatakan suatu hal yang tercela
dan merusak kerukunan hidup krama desa ( warga desa ), maka untuk menghindari
hal-hal terjadinya pelanggaran adat disinilah fungsi desa adat menata dan
mengatur kehidupan paguyuban dari warga desanya dalam hubungan dengan
unsur-unsur yang menjadikan desa tersebut sebagai suatu desa adat.
Dari fungsi tersebut maka dituangkan dalam tugas-tugas
yang dinamakan awig-awig desa, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dari
kenyataan-kenyataan yang ada dalam
kehidupan desa adat seperti yang telah dipaparkan di depan, maka dapatlah
dirumuskan fungsi desa adat sebagai berikut :
1.
Mengatur hubungan krama desa dengan Kahyangan.
2.
Mengatur pelaksanaan pancayadnya agama Hindu dalam
masyarakat.
3.
Mengatur
penggunaan kuburan
4.
Mengatur
hubungan antar sesama krama desa.
5.
Mengurusi
tanah, sawah, dan barang-barang lainnya milik desa adat.
6.
Menetapkan
sanksi-sanksi bagi pelanggaran terhadap hukum adat.
7.
Menjaga
keamanan, ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat.
8.
Memberikan
perlindungan hukum terhadap krama desa.
9.
Mengikat
persatuan dan kesatuan antar sesama krama desa dengan cara gotong-royong dalam
bidang ekonomi, teknologi, kemasyarakatan dan keamanan.
10.
Menunjang
dan mengsukseskan program pemerintah dalam memajukan desa, pendidikan dan
perekonomian.
B. Desa Adat Penglipuran
B.1. Sejarah Desa Pakraman Penglipuran
Secara historis atau menurut penglingsir ( sesepuh Desa )
dikatakan bahwa Penglipuran berasal dari kata “ Pengeling Pura “ yang artinya
ingat pada leluhur. Hal ini beralasan di mana leluhur masyarakat Penglipuran
berasal dari Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani. Karena Desa Bayung Gede
jaraknya agak jauh dari Desa Penglipuran maka masyarakat Penglipuran membangun
tempat-tempat persembahyangan ( Pura ) yang sama seperti yang terdapat di Desa
Bayung Gede. Kesimpulannya bahwa masyarakat Penglipuran masih ingat kepada asal
usul leluhur mereka. Ada
juga yang berpendapat lain bahwa Penglipuran berasal dari kata “ Penglipur “
artinya penghibur dimana pada jaman dulu para Raja sering menggunakan daerah
tersebut sebagai tempat peristirahatan atau tempat untuk menghibur diri atau
mencari ketenangan.
Desa Tradisional Penglipuran memiliki potensi budaya yang
sampai sekarang tetap terpelihara dengan baik, potensi yang dimiliki berupa
bangunan Tradisional Bali yang merupakan ciri khas yang dimiliki oleh desa
tradisional, sehingga oleh pemerintah Kabupaten Bangli desa ini dijadikan obyek
daya tarik wisata.
B.2. Letak dan Keadaan Geografis Desa Pakraman Penglipuran
Desa Adat Penglipuran sebagai salah
satu desa yang terdapat di Kelurahan Kubu kecamatan Bangli dan terletak
disebelah utara Ibu Kota Kabupaten Bangli, jarak dengan ibu kota sekitar +
4 kilometer, dan jarak dari Ibu Kota Propinsi Bali + 45 kilometer. Untuk
mencapai atau menuju desa Adat Penglipuran tidak banyak kesulitan karena
kondisi jalan yang sudah beraspal serta Telah adanya rambu-rambu penunjuk
menuju lokasi, sarana transportasi yang biasa digunakan penduduk adalah
angkutan pedesaan berupa mikrolet jurusan Kintamani-Bangli begitu juga
sebaliknya Bangli-Kintamani, selain itu pendudk juga sudah banyak mempergunakan
kendaraan sendiri serta sepeda motor.
Adapun Batas – batas Desa Adat Penglipuran
adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Adat Bayung.
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kubu
Sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Adat Gunaksa.
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Adat Cekeng.
Dibagian barat desa Adat
Penglipuran terdapat batas sungai yang curam dan oleh warga desa disebut sungai
Sangsang, sungai ini dimanfaatkan untuk mandi serta PDAM, udara di desa ini
relatif sejuk dengan suhu berkisar antara 18-32 ° C dan berada pada
ketinggian sekitar 600-700 meter di atas permukaan laut, kondisi tofografi
tanah relatif datar dengan perbedaan tinggi 5 – 15 meter. Jenis tanahnya agak
merah kekuningan dan subur, sehingga cocok untuk tanaman seperti salak, kopi,
bambu dan kelapa. Di desa Adat Penglipuran diperkirakan sekitar 4 hektar
merupakan hutan bambu, hal ini semua menjadi daya tarik desa adat Penglipuran
yang arsi, kebanyakan dari penduduk di desa ini sebagai petani.
Desa penglipuran merupakan bagian dari
salah satu desa yang terdapat di Kelurahan Kubu yang terdiri dari 3 Banjar /
Lingkungan yaitu :
1.
Banjar
/ Lingkungan Penglipuran.
2.
Banjar
/ Lingkungan Kubu
3.
Banjar
/ Lingkungan Tegal Suci
Luas wilayah desa adat Penglipuran
secara keseluruhan adalah + 112 Hektar dengan perincian peruntukan
sebagai berikut :
Tegalan
: 49 Ha
Hutan : 37 Ha
Pemukiman
/ perumahan : 8,5 Ha
Kuburan
/ setra : 1 Ha
Lain-lain : 4,5 Ha
Pekarangan : 8,5 Ha
Laba
Pura : 12
Ha
B.3.
Kondisi kependudukan, Ketenagakerjaan dan Sosial Budaya Desa Pakraman Penglipuran
Jumlah penduduk desa adat
Penglipuran per Desember 2004 sejumlah 894 Terdiri dari laki-laki 435 dan perempuan sejumlah 459, dari jumlah itu
terbentuk 208 Kepala Keluarga. Lebih jelasnya jumlah penduduk Desa Pakraman
Penglipuran ditinjau dari komposisi umur dapat dirinci dalam tabel berikut ini
:
Komposisi Penduduk Desa Pakraman Penglipuran
menurut Umur Tahun
2005
Tabel
4
Sumber : Registrasi data Penduduk Desa Pakraman
Penglipuran
Th. 2005
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa penduduk Desa Pakraman
Penglipuran justru menggelembung pada kelompok umur 31 – ke atas yaitu sebesar 676 orang atau 75 % dari jumlah
penduduk dan ini merupakan usia produktif. Sementara itu penduduk pada umur 03
tahun – 30 tahun jumlahnya relatif lebih sedikit, data diatas nampaknya sejalan
dengan keberhasilan program Keluarga Berencana yang dicanangkan Pemerintah.
Komposisi Penduduk Desa Pakraman Penglipuran menurut
Tingkat pendidikan
Tabel 5
Sumber : Registrasi data Penduduk Desa
Pakraman
Penglipuran
Th. 2005
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa sebagian besar
penduduk Desa Pakraman Penglipuran berada pada tingkat pendidikan dasar yaitu
pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar sejumlah 90 orang atau 53
%, dan pada tingkat Sekolah Menengah
Pertama sejumlah 24 orang atau 14,2 %, sedangkan sisanya
berada pada tingkat Sekolah Menengah Atas yang jumlahnya 35 orang atau 20,72 %.. Dan yang pernah menempuh pendidikan
pada Perguruan Tinggi Cuma 20 orang atau 11,83 %. Rendahnya tingkat pendidikan
penduduk Desa Pakraman Penglipuran barangkali juga berkaitan dengan daerah desa
tersebut kebanyakan lahan pertanian sehingga mereka berorientasi pada pertanian
sehingga mereka lebih suka mengerjakan lahan pertanian sehingga mendapatkan
hasil dari pada sekolah yang mengeluarkan uang.
Komposisi
Penduduk desa Pakraman Penglipuran Menurut
Tingkat Mata Pencaharian
Tabel
6
Sumber : Registrasi
data Penduduk Desa Pakraman
Penglipuran Th. 2005
Dilihat dari segi ketenagakerjaan diketahui bahwa
sebagian besar penduduk desa Pakraman Penglipuran bekerja sebagai petani dan
buruh, dimana sebagai petani sebesar 350 orang atau 54,69 % dan buruh sebesar
146 orang atau 22,81 %. Tidak beda jauh dengan desa-desa lain, bahwa sebagian
besar penduduk desa Pakraman Penglipuran bekerja sebagai petani, baik petani
pemilik maupun buruh tani, namun yang terbanyak adalah sebagai petani pemilik.
Pekerjaan lain yang juga cukup banyak ditekuni penduduk
Desa Pakraman Penglipuran adalah bergerak dibidang wiraswasta yang jumlahnya
mencapai 45 orang atau 7,03 %.
Dilihat dari segi mobilitasnya penduduk Desa pakraman
Penglipuran tergolong sebagai masyarakat yang tidak suka berpindah tempat
tinggal, hal ini terlihat dari monografi desa diketahui bahwa dalam satu tahun
terakhir tidak terdapat penduduk yang datang sedangkan penduduk yang pindah
ketempat lain juga tidak ada. Menurut beberapa informan bahwa penduduk desa
Pakraman Penglipuran lebih suka menetap didesanya sendiri setelah mereka
menikah, keadaan ini juga ditunjang oleh adat kebiasaan dalam perkawinan yang
cendrung bersifat endogamy desa, yaitu adat perkawinan yang mengambil pasangan
hidupnya dari desa sendiri, walaupun juga tidak ada larangan bagi warga desa
yang akan menikah dengan orang di luar desanya.
Komposisi
Penduduk Desa Pakraman Penglipuran Menurut Agama
Tabel
7
Sumber : Registrasi data Penduduk Desa Pakraman
Penglipuran Th. 2005
Berdasarkan
tabel 7 dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk desa Pakraman Penglipuran
memeluk agama Hindu atau sebanyak 100 % dari jumlah penduduk 894 orang, ini bisa
dilihat dari monografi desanya
B.4. Kelembagaan Desa Adat Penglipuran serta
tugas dan fungsi
Lembaga
adat ini dipimpin oleh Kelihan Adat dan dibantu oleh 2 orang penyarikan ( wakil
/ sekretaris ), lembaga ini adalah lembaga otonom yang tidak ada hubungan struktural
dalam pemerintahan.
Fungsi
dari lembaga adat adalah berkaitan dengan
pelaksanaan upacara yadnya keagamaan / adat, serta dalam pembangunan dan
pemeliharaan tempat suci / ibadah ( Pura)
Pelaksanaan
tugas dan kewajiban sebagai prajuru desa adat, serta tugas dan kewajiban
sebagai warga adat telah termuat dalam aturan desa yaitu awig-awig desa adat.
Secara
yuridis kedudukan lembaga-lembaga adat di Bali
sangat kuat, karena mendapat dasar pijakan pada Pasal 18 UUD 1945. menurut
Undang-undang Dasar, lembaga-lembaga adat yang ada di Indonesia
tercakup dalam pengertian “ Volksgemeenschappen
“ ( persekutuan rakyat ) yang mempunyai susunan asli dan bersifat istimewa.
Dewasa
ini lembaga-lembaga adat bukanlah republik lagi, tetapi ia berada dibawah
Republik Indonesia.
Desa adat, banjar dan subak tetap boleh
membuat dan melaksanakan awig-awig atau hukum adatnya, tetapi tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang.
Tugas dan Fungsi masing-masing struktur
1.
Kelihan
desa Adat
( kelihan / Kelih Besar / tua ) adalah pimpinan desa adat yang artinya yang
dituakan atau ketua, kelihan mempunyai wewenang untuk mengatur dan menggerakan
masyarakat ( krama desa adat ) dalam pelaksanaan upacara agama / adat,
pembangunan tempat ibadah, serta sebagai pimpinan rapat dalam masyarakat desa
adat. Kelihan dipilih secara demokrasi oleh krama desa adat.
2.
Penyarikan
adalah juru tulis / sekretaris yang mempunyai tugas membantu kelihan desa adat dalam
menjalankan tugasnya, seperti mengabsen krama warga pengarep, mengatur jadwal
giliran tugas sebagai sinoman.
3.
Kancan
Roras adalah
12 ( dua belas ) orang warga pengarep yang merupakan paradulu hulu apad, yaitu
warga pengarep yang menduduki nomor urut 1 (satu) sampai 12 (dua belas ), ini
merupakan paradulu desa adat secara otomatis ( tidak dipilih ) dan mempunyai
tugas dan fungsi sesuai dengan nomor urutnya dan mempunyai sebutan / nama
sesuai dengan awig-awig yang berlaku di desa adat Penglipuran. Kedudukannya
juga sebagai pembantu kelihan desa adat dalam melaksanakan tugas perencanaan
atau pelaksanaan upacara agama / adat. Kelompok ini tidak lagi masuk pada salah
satu organisasi sosial wajib sebagai kelompok profesi / fungsional seperti
sekeha gong, sekeha baris, sekeha peratengan, sekeha pecalang, karena mereka
telah memilki tugas dan fungsi khusus dan kedudukan ulu apad. Adapun nama dan
urutan serta nama sebutan Kancan Roras serta tugasnya sebagai berikut
Jro
Kebayan Mucuk
adalah orang suci yang telah disucikan melalui upacara khusus sebagai orang
berkedudukan nomor urut 1 (satu) pada sistem hulu apad yang mempunyai tugas
sebagai pimpinan upacara agama / adat di desa Penglipuran. Jro Kebayan Mucuk
dibantu oleh Jro Kebayan Nyoman
dalam ulu apad memiliki nomor urut 2 .
Jro
Bahu Duuran
adalah orang yang telah disucikan dengan upacara agama / adat namun lebih
rendah dari Jro Kebayan dan tugasnya membantu Jro bayan dalam pelaksanaan
upacara agama dan adat, menempati nomor urut 3. sama dengan di atas Jro Bahu Duuran
dibantu oleh Jro Bahu Nyoman dan menempati nomor urut 4
Jro
Singgulan Duuran
adalah bertugas sebagai perantara / penghubung keempat diatas dan Jro Singgulan
duuran juga di bantu oleh Jro Singgulan Nyoman dan merupakan
wakil yang lebih muda.
Jro
Cacar Duuran
mempunyai tugas sebagai tukang cacar (
membagikan / mendistribusikan ) sarana upacara dalam kegiatan agama / adat. Jro
Cacar Duuran dibantu oleh Jro Cacar Nyoman yang
merupakan wakil atau lebih muda.
Jro
Balung Duuran
bertugas mencari bagian-bagian tubuh hewan kurban yang dipakai dalam upacara
untuk sarana upacara agama / adat, Jro Balung juga dibantu oleh : Jro Balung Nyoman yang
bertugas sebagai pembantu yang lebih muda.
Jro Pati Duuran bertugas sebagai penyemblih hewan
kurban dalam kegiatan upacara agama / adat, Jro Pati Duuran juga dibantu oleh Jro Pati Nyoman yang
bertugas membantu Jro Pati duuran dalam
kegiatan upacara agama dan merupakan wakil yang lebih muda.
4.
Sekeha
Gong
adalah bertugas menyiapkan , mengatur dan menyimpan gamelan / gong dalam
kegiatan upacara agama / adat, mereka dipilih dari anggota kelompok / organisasi
roban, sekeha gong yang berasal dari krama pengarep nomor urut di atas 13
sampai 76, sesuai dengan bakat dan hobinya
5.
Sekeha
Baris
adalah bertugas mengatur dan menyiapkan tari baris yang ditarikan oleh sekeha
baris dalam rangka upacara agama / adat.
6.
Sekeha
Peratengan
bertugas sebagai juru masak dalam persiapan sajen untuk upacara agama / adat
7.
Sekeha
Pecalang
mempunyai tugas menjaga, mengatur ketertiban dan keamanan di wilayah desa adat
dalam kegiatan upacara agama / adat.
8.
Sekeha
Daha
Teruna bertugas membantu kegiatan adat dimana anggotanya para generasi muda
yang sudah berusia 13 tahun, umumnya para muda-mudi yang diberi tugas oleh desa
adat untuk menari tarian Baris jojor, Rejang dan Pendet yang merupakan tarian
persembahan untuk keperluan sarana upacara agama dan adat di desa Pakraman
Penlipuran.
STRUKTUR LEMBAGA DESA PAKRAMAN
PENGLIPURAN
Sumber : Desa Pakraman Penglipuran
Keterangan :
: Garis
Komando
: Garis
Koordinasi
C. Desa
Tradisional Penglipuran :
C.1. Tradisi-tradisi
Budaya
Seperti apa yang telah diuraikan
sedikit di atas dalam latar belakang bahwa desa Tradisional Penglipuran mempunyai
banyak keunikan-keunikan yang memang berbeda dengan desa-desa lain pada umumnya
di Bali seperti halnya :
1.
Karang
Madu dimana merupakan suatu daerah atau areal yang diperuntukan khusus kepada
warga yang kawin lebih dari satu atau berpoligami. Tradisi yang ada di desa ini
bila ada warganya yang kawin lebih dari satu, mereka akan dikenai sanksi berupa
tidak boleh lagi tinggal di desa tersebut, namun kedua mempelai harus tinggal
di Karang Madu tersebut. Selain itu mereka tidak boleh masuk wilayah desa itu,
begitu juga dalam kegiatan upacara keagamaan, maksud dari larangan ini adalah
warga daerah tersebut supaya tidak kawin berpoligami atau untuk melindungi
hak-hak perempuan.
2.
Tradisi
Manak salah dimana daerah ini masih menjalankan tradisi ini walaupun sudah
dilarang, namun desa ini tetap menjalankannya dikarenakan warga takut akan
sanksi hukum sekala dan niskala ( dunia nyata dan Maya ). Manak salah adalah
suatu peristiwa kelahiran kembar atau sepasang laki dan perempuan, oleh warga
dikatakan ngeletehin gumi ( membuat desa kotor ) maka dari itu
diadakan upacara setelah prosesi pengasingan selesai.
3.
Tradisi
tidak bicara dalam suatu upacara keagamaan dimana warga dalam melaksanakan
suatu upacara tidak diperbolehkan untuk bicara, dikatakan oleh warga bahwa itu
sudah terjadi sejak nenek moyangnya dulu dan sampai sekarang tetap ditaati.
4.
Tradisi
yang mengandung nilai budaya dalam memulai bertani, daerah desa adat
Penglipuran masih memegang teguh pada tradisi ini, jika mereka mulai
mengerjakan sawah ladang dan kebun terlebih dahulu didahului dengan suatu
upacara tertentu.
C.2. Pola Desa Tradisional
Penglipuran
Pola desa
tradisional Penglipuran memang berbeda dengan desa lain, didesa adat
Penglipuran memakai pola linier utara selatan, sedangkan di desa lain tidak
memperhatikan hal tersebut. Pola
linier utara selatan ( Kaje Kelod ) mengakibatkan adanya jalan ditengah-tengah sehingga
pemukiman penduduk terdapat di kiri dan kanan jalan. Disetiap rumah yang
berjejer di kiri kanan jalan memiliki suatu gerbang dan berdiri bangunan yang
dinamakan angkul-angkul, bahan yang dipakai adalah tanah liat dan bambu Pola rumah disini satu sama lain sama
sehingga membuat seragam dan tertata dengan baik sehingga menimbulkan kesan
mereka tidak ada persaingan dan merasa dalam nasib dan sepenanggungan.
Pola desa masih berpedoman pada konsep
Tri Mandala. Dimana desa dibagi dalam
tiga wilayah yaitu Nista Mandala, Madya Mandala,
Utama Mandala. Utama Mandala berada paling utara dimana areal ini
diperuntukan untuk tempat ibadah atau pura, sedangkan Madya Mandala berada
dibagian tengah diperuntukan untuk pemukiman penduduk dan kegiatan warga, dan Nista
Mandala merupakan daerah paling selatan dan oleh warga areal ini biasa terdapat
kuburan serta ladang para penduduk.
C.3. Pola Bangunan Desa Tradisional Penglipuran
Pola bangunan di desa tradisional Penglipuran masih tetap
mempertahankan pola bangunan lama atau tetap mempertahankan rumah-rumah adat
yaitu Bale-Saka Enem dan Paon. Pola ini juga mengikuti konsep Tri Mandala,
dimana dalam penataan bangunan tempat ibadah berada di timur, dibarat rumah
hunian dan utara dapur. Didesa Penglipuran dapur dekat dengan merajan ( tempat
ibadah ) dan lain dengan desa di Bali pada
umumnya, dapur selain dipergunakan untuk kegiatan memasak juga dipergunakan
sebagai tempat istirahat atau tidur. Mungkin dapur ditaruh dekat dengan tempat
ibadah dikaitkan dengan efisiensi tenaga jika ada suatu kegiatan keagamaan yang
banyak di areal merajan.
Didesa Adat Penglipuran tergolong unik dan sangat berbada dengan desa
lain di Bali, di desa Adat Penglipuran terdapat kurang lebih 13 pura, dimana
lahan untuk pura lebih besar dari lahan pemukiman dan Pura-pura yang dimiliki desa pakraman
Penglipuran merupakan peninggalan kuno dengan kelengkapan, dan ciri arsiteknya
masih asli dimana letak serta bahan
bangunan yang masih asli. Kemungkinan
pura ini dibangun sebagai penyawangan terhadap pura-pura yang ada di daerah
asal mereka, sehingga menjadi jumlah pura tersebut relatif banyak. Dilihat dari
sejarahnya desa ini, sudah pasti warga desa ini sangat mencintai daerah asalnya
sehingga mereka membuat replika daerah asalnya, mereka melestarikan daerah
asalnya dengan membangun pura dan pemukiman seperti daerah asal nenek
moyangnya. Dari sini sudah jelas bahwa warga desa ini dalam pelestarian
daerahnya sangat besar. Mereka sangat mencintai daerah asalnya sehingga mereka
dengan tekun melestarikan apa yang ada di daerah asalnya. Ini bisa kita lihat
dari corak dan jenis bangunan pura yang ada masih asli dan sama dengan pura
yang ada di daerah Bayung Gede yang merupakan asal dari nenek moyang mereka.
Pura – pura tersebut antara lain
seperti terdapat dalam tabel berikut :
Daftar Pura-Pura di desa Adat Penglipuran
Tabel
8
Nomor
|
Nama
Pura
|
Keterangan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
|
Pura Penataran
Pura Puseh
Pura Dukuh
Pura Rambut Sri
Sedana
Pura Penaluak
Pura Empu Aji
Pura Dalem
Tampuagan
Pura dalem
Pingit
Pura dalem
Pura Ratu Tungkup
Pura Raja Pati
Pura Mas Ayu
Manik Masalem
Pura Balai banjar
|
Sumber
: Desa Adat penglipuran Tahun 2005
Selain adanya
pura-pura yang tergolong peninggalan lama dan masih utuh serta tetap
dipertahankan juga mempunyai lahan hutan khusus bambu
Hutan
Bambu
Desa
kami desa pakraman Penglipuran merasa bangga mempunyai potensi yang banyak
seperti hutan bambu yang merupakan tanaman paling dominan. Hutan bambu ini
tetap dilestarikan dan tidak boleh diganti dengan tanaman lain. letak hutan
bambu ada dibagian utara dan bagian barat desa Penglipuran. Hasil wawancara dengan Bendesa Adat dikatakan
Bahwa untuk menjaga kelestarian hutan bambu di desa Pakraman Penglipuran, kami
mempunyai suatu aturan atau awig-awig yang mengatur pelarangan supaya tidak
menebang bambu pada saat hari-hari tertentu. Dan dalam melakukan penebangan bambu harus
memperhatikan hal-hal yang telah diatur didalam perarem tersebut. Seperti pada
hari Kajeng Kliwon tidak diperbolehkan menebang bambu, juga ada hari-hari lain
yang tidak diperbolehkan, memang jika ada yang melanggar sudah menjadi
kenyataan dimana hutan bambunya akan rusak biasa diawali dengan ujung bambu mengering
sehingga menjadi mati, warga menjadi takut akan sanksi niskala yang tidak
kelihatan dan pada akhirnya ketentuan itu sampai sekarang tetap dilaksanakan,
namun berkat aturan tersebut terlihat
hasilnya bahwa hutan bambu yang ada di desa Pakraman Penglipuran tetap
lestari. Selain itu hutan bambu yang tumbuh disebelah barat dengan sungai
fungsinya sangat positif satu sisi untuk menjaga tanah tidak erosi dan menahan
tanah longsor juga menjadi serapan air sehigga air sungai tetap mengalir.
Tugu
Pahlawan
Tugu
pahlawan tersebut letaknya di sebelah selatan dari desa Pakraman Penglipuran
itu sesuai dengan konsep Tri mandala, sehingga letak makam tersebut ada diujung
desa. Tugu pahlawan ini memiliki nilai yang historis dengan bentuk arsitektur
khas Bali, makam pahlawan ini dibangun tahun 1959 untuk mengenang jasa pahlawan
dan para pejuang lainnya yang telah berjasa berjuang melawan penjajah. Selain
itu monument dan makam pahlawan tersebut dibangun sebagai hormat kepada pahlawan
asli Bangli yaitu Kapten A.A. Mudhita.
C.5.
Masyarakat agraris
Daerah
Desa tradisional Penglipuran merupakan daerah yang mempunyai tofografi yang
relatif rata sehingga tumbuh subur berbagai tanaman, hal ini mengakibatkan
daerah ini kebanyakan warganya sebagi petani. Daerah mereka kebanyakan lahan pertanian sehingga
orientasinya cendrung agraris, selain itu ritual-ritual mereka kebanyakan
berkaitan dengan pertanian yang bertujuan menjaga kelestarian lingkungan dan
alam. Hal ini dapat dilihat dari Luas wilayah desa adat Penglipuran secara
keseluruhan adalah + 112 Hektar yang mana tanah tersebut diperuntukan
sebagai
Hutan : 37 Ha
Tegalan : 49 Ha
C.6.
Tarian Tradisional ( Sakral )
Di desa Tradisional Penglipuran masih terpelihara tradisi
kesenian lama yang sampai sekarang tetap dilestarikan dan di sakralkan, tarian
ini banyak kaitannya dengan kegiatan ritual keagamaan. Diantaranya tari Baris
jojor, tari rejang, tarian ini baru ditarikan jika ada upacara piodalan di
pura-pura yang ada di desa Penglipuran. Karena tarian ini memang sangat
disakralkan dan tidak boleh sembarangan menarikan. Tari-tarian tersebut yang menarikan remaja usia 13 tahun. Karena
mereka dinilai masih bersih dan belum banyak dosa. Tarian ini beda dengan tari
lain yang bisa ditarikan pada momen biasa atau penyambutan tamu.
BAB III
PERAN
LEMBAGA DESA PAKRAMAM / ADAT DALAM PELESTARIAN DESA TRADISIONAL PENGLIPURAN
A.
Nilai-nilai Budaya dan Norma-norma adat yang mengandung
makna Pelestarian
Nilai budaya merupakan serangkaian konsep yang bersifat
abstrak, umum yang berada dalam pikiran manusia mengenai apa yang dianggap
baik, benar, bermanfaat, penting berharga sehingga warga masyarakat
menggunakannya sebagai pedoman orientasi dan sekaligus motivasi dalam bersikap
dan bertingkah laku.
Kluckhahn ( 1952 ) mendifinisikan nilai budaya sebagai
konsep umum yang terorganisir yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan
dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan
tentang hal yang diinginkan dan tidak diinginkan yang mungkin bertalian dengan
hubungan antara orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
Apa yang didifinisikan kluckhan sama dengan konsep ajaran
agama Hindu Tri Hita Karana yaitu tiga
hal yang menyebabkan kebaikan, diantaranya hubungan Manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan lingkungan. Jika
ketiganya terjadi keseimbangan maka alam
akan lestari. Konsep Tri Hita Karana ini yang menjadi dasar atau norma
yang dipakai warga masyarakat di Bali
khususnya dalam hal pelestarian lingkungan disekitarnya.
Nilai-nilai budaya yang tumbuh pada masyarakat yang
mengandung makna luhur yang mendasari pelaksanaan pelestarian diantaranya :
Tatwam
Masi
yang merupakan suatu konsep bahwa yang intinya saling menghargai antara sesama
manusia, adanya toleransi dan hidup saling berdampingan, makna dari kata-kata
tersebut adalah rasa saling menghargai atau rasa memiliki, dalam hal
pelestarian yang mana rasa memiliki begitu besar sehingga mereka menjaga dan
memelihara apa yang mereka punyai dan bangga akan desanya.
Salunglung
Sebayantaka
dimana konsep ini juga mengandung makna dan arti yang tinggi yaitu rasa
sepenanggungan atau senasib, begitupun
dalam pelestarian desa mereka merasa dalam satu nasib dan satu tujuan.
Beriuk
Siu yaitu
merupakan konsep yang mengandung makna persatuan dan kekompakan, memang konsep
ini jika yang positif diambil maka akan tumbuh rasa persatuan yang tinggi,
namun bila sisi negatif yang timbul merupakan bahaya laten dimana kekompakan
akan menimbulkan hal yang tidak dinginkan. Begitu juga dalam hal pelestarian
desa yang merupakan warisan leluhurnya mereka sangat kompak dan menghormati
jasa nenek moyangnya.
Menyama
Braya
konsep ini mengandung makna yang sangat tinggi, dimana arti dari nyama braya
adalah persaudaraan, nyama braya menekankan pada rasa persaudaraan, dan warga
merasa mereka masih dalam satu pertalian persaudaraan dan mempunyai
tanggungjawab untuk tetap mempertahankan tradisi dan adat kebudayaannya.
Konsep
Tri Kona
yaitu Utpeti, Stiti, Pralina dimana arti dari masing-masing tersebut mempunyai
makna yang sangat luas. Seperti Upeti yaitu diproyeksikan dalam hal
pembangunan, Stiti diproyeksikan dalam hal pemeliharaan hasil dari pembangunan
dan Pralina adalah diproyeksikan perbaikan jika ada hal yang rusak maka perlu
dibangun kembali, konsep ini menjiwai warga masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam hal pembangunan mulai dari perencanaan pembangunan,
memelihara hasil pembangunan dengan memanfaatkannya serta perbaikan bila
mengalami kerusakan.
Hukum
Karma Phala
yaitu konsep Hindu yang artinya bahwa umat Hindu percaya dengan hasil dari
perbuatan, dimana bila kita berbuat baik maka hasilnya yang diterima adalah
kebaikan begitu juga sebaliknya. Hal ini yang menjadi landasan umat Hindu untuk
berpikir yang baik, berbicara yang baik dan bertingkah laku yang baik. Sebab
mereka takut akan hukum alam tersebut, keyakinan itulah yang menjaga
keseimbangan hidup warga masyarakat sehingga mereka tidak berani berbuat yang
negatif.
Bhakti
Marga
yaitu memiliki arti bakti terhadap negara pemerintah, agama. Mereka akan
berbakti terhadap desanya dalam melestarikan kebudayaannya, semangat ini
merupakan rasa cinta terhadap tanah air dan tanah kelahirannya.
Karya
Marga
yaitu konsep yang mendorong solidaritas warga untuk berbuat atau berkarya guna
menjaga desanya, Karya Marga memunculkan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial
seperti gotong royong serta kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Tri
Kaya Parisuda yaitu
merupakan suatu konsep yang mendasari umat Hindu untuk berprilaku yang baik.
Tri Kaya Parisuda terdiri dari Berpikir,berkata, bertingkah laku yang baik. Semua
inilah yang menjadi acuan khususnya umat Hindu di Bali untuk mengontrol tingkah
lakunya.
Norma-norma
adat dalam hal pelestarian ini kebanyakan muncul dari ajaran agama Hindu, Ini
sangat diyakini oleh masyarakat khususnya di Bali,
bila ada pelanggaran terhadap norma-norma adat maka masyarakat segera membuat
suatu upacara yang gunanya untuk menyeimbangkan agar keadaan bisa dinetralisir.
Oleh sebab itu norma adat yang ada di Bali
sampai sekarang tetap fungsional atau eksis.
Untuk menjaga
dan melindungi atau melestarikan alam dan lingkungan juga perumahan khususnya
dalam menjaga keseimbangan alam makro kosmos dan mikro kosmos ( sekala dan
niskala ) masyarakat Hindu khususnya di Bali melakukan
suatu upacara yadnya atau korban suci seperti Mecaru dan mesayuban. Mecaru dilakukan dalam kondisi tertentu sesuai
keperluan Desa Kala Patra. Fungsi dari mecaru tersebut adalah menyeimbangkan
antara dunia makro dan dunia mikro ( nyata dan tidak nyata ). Sedangkan
mesayuban dilakukan setiap hari oleh warga masyarakat di Bali
setelah selesai masak yang gunanya
adalah mengucapkan rasa syukur terhadap Tuhan Sang Maha Pencipta.
B.
Bentuk-bentuk Peranan Lembaga Adat
B.1 Bentuk Peranan Lembaga adat dalam
kegiatan upacara Agama
Dalam
pelaksanaan upacara agama diatur oleh adat setempat dan sesuai dengan perarem
di desa tersebut, upacara agama terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi yadnya, Manusia
yadnya, Pitra yadnya, buta yadnya. Dalam peranannya ini lembaga adat adalah
mengatur, menata, pengwasasi jalannya upacara yadnya tersebut. Seperti
dikatakan Bendesa adat bahwa dalam pelaksanaan kegiatan apapun yang berupa adat
semua penguwak dewasa ayu ( hari baik ) harus mendapat persetujuan dari bendesa adat. Dengan kata
lain bahwa bendesa adat juga merupakan tetua desa, masyarakat dalam
melaksanakan suatu kegiatan harus ada persetujuan
adat.
Kegiatan
Dewa Yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada
Hyang Widhi dengan semua manifestasi-Nya. Korban suci ini pada umumnya
dilaksanakan di pura. Kegiatan Dewa Yadnya diwujudkan dalam rangkaian upacara
yadnya seperti piodalan di pura-pura. Kegiatan ini semua menjadi wewenang
bendesa adat untuk mengatur dan
mengkoordinir warga desa untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Upacara
Pitra Yadnya adalah korban suci yang dilaksanakan untuk
persembahan kepada atman leluhur, atman
orang tua yang telah meninggal dunia, atau atman anggota kerabat yang
telah meninggal dunia. Ada
tiga jenis upacara Pitra Yadnya, yakni
upacara penguburan, ngaben ( pembakaran mayat ), dan mukur ( upacara penyucian
atman ).
Upacara
Rsi yadnya adalah korban suci yang berkenan dengan upacara
mediksa ( pentahbisan ) para pendeta dan pinandita ( pendeta ) lainnya . upacara ini ada kaitannya dengan sulinggih ( Pendeta ) atau pemuka agama, dalam upacara
ini merupakan rangkaian pensucian atau pengangkatan sulinggih yang semua acara
dan biaya ditanggung oleh masyarakat secara bersama-sama.
Upacara
Manusia Yadnya adalah korban suci yang dilaksanakan sepanjang
tahap-tahap kehidupan manusia mulai dalam kandungan, lahir, dewasa, kawin dan
potong gigi. Semua acara diatas merupakan rangkaian upacara manusia yadnya, kegiatan
tersebut yang menjadi peras ( saksi ) selain bendesa adat juga warga
masyarakat. Seperti diungkapkan oleh responden tanggal ( 26
September 2005 );
Yen
wenten upakara manusia yadnya sekadi pawiwahan sane muputang karya punikan
bendesa adat, bendesa mekadi saksi sekala lan sesampune uwus acara punika sane
kawin ngurus mangda ngeranjing dados krama adat. ( bahwa
kalau ada suatu upacara perkawinan yang menjadi saksi nyata adalah bendesa
adat. Dan setelah upacara yang melakukan perkawinan harus mengurus menjadi
warga adat. Karena setiap orang yang telah menikah harus menjadi krama adat ).
Upacara
Bhuta Yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada unsur-unsur
alam sekitarnya agar tetap lestari dan tidak menghancurkan kehidupan manusia.
Unsur-unsur alam tersebut terdiri dari lima macam bhuta, yakni
tanah, air, angin, api, dan ruang. Kelima bhuta tersebut dalam agama Hindu
dikenal dengan sebutan Panca Maha Bhuta. Panca Maha Bhuta tersebut
mempunyai dua sifat yang antagonis yakni sifat positif ( Daiwi sampat )
dan sifat negatif ( Asuri sampat ). Sifat positif adalah sifat alam yang
menguntungkan dan mendukung proses kehidupan manusia kearah kesejahteraan dan
kebahagiaan yang lebih baik. Sifat negatif adalah sifat yang merugikan,
menghambat, dan mengganggu kehidupan manusia. Agar sifat negatif tidak menjadi
ancaman maka manusia mengadakan yadnya.
Berdasarkan
pemahaman yang demikian umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya yang
memiliki makna (1) sebagai pernyataan syukur atas karunia yang Widhi yang telah
menciptakan alam semesta sebagai sumber kehidupan; (2) sebagai upaya untuk
menjaga dan memelihara kelestarian alam sekitar; dan (3) sebagai upaya mencegah
pengaruh buruk atau gangguan Bhuta Kala terhadap aktivitas kehidupan manusia.
pelaksanaan upacara bhuta kala ini antara lain Upacara Tawur kesanga, mecaru
setiap saat dan mesayuban. Dengan kata lain bahwa upacara tersebut merupakan
rangkaian upacara yang tujuan untuk menjaga keseimbangan dunia mikro kosmos
dan makro kosmos.
B.2.
Bentuk Peranan Adat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan
Dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan peranan bendesa adat sebagai Pembina dalam mengerakan masyarakat sehingga masyarakat menjadi tergerak dalam
kegiatan-kegiatan sosial seperti gotong
royong dalam melaksanakan perkerjaan yang berkaitan dengan keagamaan, warga
masyarakat bersama-sama melaksanakan ngayah
( berkerja ) untuk mengsukseskan
kegiatan-kegiatan yang ada disekitar mereka. Seperti dikatakan oleh responden yang diwawancarai tanggal 25 September 2005 :
Ring
Bali akeh wenten upakare keagamaan taler
upacara adat lianan, warga ngebaosang mesuka duka, raris warga sareng sami
bekerja sama mangde karyan idedane sane medue karya lescarya. ( bahwa di Bali banyak
sekali ada kegiatan-kegiatan adat atau upacara agama, warga menyebut suka duka,
dalam kegiatan tersebut warga bergotong royong dalam membantu menyelesaikan
rangkai upacara tersebut ).
B.3.
Bentuk Peranan Adat dalam kegiatan Kesenian
Dalam
peran lembaga adat dalam kegiatan kesenian, lembaga adat sebagi ketua sekaligus
Pembina dibidang kesenian. Pembina dilakukan terhadap sekaa-sekaa Gong dan sekeha Baris yang semua
digunakan dalam kegiatan-kegiatan adat. Sekeha gong ini dibentuk oleh bendesa
adat dan dalam kegiatan ini warga yang mempunyai hobi seni ditampung dalam
kegiatan ini dan disalurkan dalam sekeha ini. Aturannya juga sangat ketat untuk
menjaga kekompakan sekeha. Seperti jika tidak hadir akan dikenai denda. Seperti
dituturkan oleh warga para wawancara tanggal
26 September 2005.
Yen
tiyang nenten ngerauhin kala wenten latihan megambel titiyang keni dedosan
merupa jinah limangtali rupiah santukan tiyang nenten sareng latihan metabuh. ( bila saya tidak hadir waktu latihan gong, saya
akan dikenai denda berupa uang sejumlah Lima
ribu rupiah. Ini karena saya tidak hadir tadi. Begitu juga dalam
kegiatan-kegiatan lain semua ada dendanya jika tidak menghadiri acara tersebut
).
Kegiatan
lain yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti tempekan suka duka yang
bertujuan untuk meringankan beban warga masyarakat yang mempunyai kesusahan
atau mempunyai kegiatan adat.
B.4.
Bentuk peranan Adat dalam kegiatan
Perekonomian
Kegiatan
dalam perekonomian yang bertujuan mensejahterakan warga. Bendesa adat mengefektifkan
Lembaga Perkreditan Rakyat yang ada di desa tersebut. LPD ini dikelola oleh
Desa adat. Sehingga sanksi bagi warga masyarakat yang butuh biaya atau keuangan bisa
memijam di LPD tersebut. LPD bisa berkembang juga dikarenakan adanya
partisifasi masyarakat secara aktif ikut menabung dan memanfaatkan dana yang
ada di LPD itu. Namun dalam urusan simpan pinjam LPD menerapkan aturan yang
ketat dan berkaitan dengan hukum adat. Jika ada warga masyarakat sebagai
nasabah yang membandel dalam melunasi kredit atau pinjaman, maka sanksi yang
diterapkan kebanyakan sanksi adat. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi para
nasabah yang membandel . dan sanksi adat lebih efektif untuk menjaga LPD itu
tetap hidup dan berkembang. Dikatakan oleh Bendesa Adat bahwa selama ini urusan
simpan pinjam yang ada di desa kami berjalan lancar dan tidak ada warga yang
berani menunggak cicilan kredit yang mereka pinjam, sebab sanksi hukumnya
sangat berat. Hal ini diperjelas oleh salah satu warga masyarakat yang menjadi salah
satu responden pada hasil wawancara tanggal 20 September 2005
Tiang
selaku warga masyarakat deriki polih nyelang jinah anggen titiang nyalanang
usaha. Kredit punike titiang cicil. Warga deriki nenten purun nunggak santukan
LPD punike dikelola antuk Desa adat. Titiang
takut antuk sanksi adat. Yening nenten naur utang, titiang bisa keni dedosan
kasepekang antuk warga lianan.
( bahwa warga masyarakat mendapat kemudahan
dalam usahanya dengan jalan mendapat pinjaman dari LPD, dan pengembaliannya
dilakukan dengan mencicil. Namun warga desa tidak ada yang berani menunggak
karena ada sanksi adat, sebab adatlah yang mengelola LPD tersebut. Sanksinya
juga saksi adat bias-bisa kalau menunggak bisa diasingkan oleh warga )
B.5.
Bentuk peranan Adat dalam kegiatan Keamanan
Bentuk peran adat dalam
kegiatan pengamanan adalah membentuk suatu lembaga desa yang bertujuan menjaga
keamanan desa yang disebut pecalang, pecalang ini bertugas menjaga keamanan dan
ketertiban desa adat. Dalam kegiatan adat
fungsi pecalang sangat dibutuhkan untuk menjaga kelancaran pelaksanaan
upacara.
C.
Proses ritual-ritual yang mengandung makna Pelestarian
Kebanyakan ritual-ritual adat yang ada berkaitan dengan
pelestarian lingkungan dan alam. Masyarakat kita hidup dari kebiasaan yang
setiap mulai suatu kegiatan diawali dengan upacara ritual. Ritual-ritual adat
dalam hal pertanian yang mengandung makna pelestarian diantaranya seperti :
1.
Nyeeb yang jatuh pada sasih kesada (
bulan ke dua belas ) Merupkan suatu rangkaian upacara dalam bidang pertanian
yang merupakan awal dari mulai suatu pekerjaan bercocok tanam ( ngelelemek ), upacara ini mempunyai maksud
untuk permisi kepada yang empunya ladang secara niskala ( alam lain ) sehingga
dalam mengerjakan sawah, ladang , kebun diberi keselamatan. Makna dari upacara
ini yaitu untuk menjaga keseimbangan lingkangan alam dengan manusia.
2.
Mungkah jatuh pada sasih kesada ( bulan ke
pertama ) Merupakan suatu upacara mulai pelaksanaan pekerjaan sawah, ladang
atau kebun, upacara ini didahului dengan pekerjaan seperti mencangkul,
membersihkan sehingga siap untuk ditanami berbagai tumbuhan pertanian, makna
dari upacara mungkah juga sama dengan diatas untuk menjaga keseimbangan alam.
3.
Nyungsung jatuh pada sasih Karo ( bulan ke dua
) Merupakan suatu upacara masih dalam rangkaian pertanian yang mana bibit
tersebut diselamati terlebih dahulu sehingga bisa tumbuh dengan subur
4.
Nangkluk Merana jatuh pada sasih
Kenem ( bulan ke enam ) Merupakan suatu rangkaian upacara yang dilakukan oleh
warga masyarakat yang mempunyai tujuan untuk mengusir merana ( hama ) sehingga kebun, sawah dan
ladang terhindar dari hama tersebut.
5.
Ngusaba Bantal jatuh pada sasih
ke sanga ( bulan kesembilan ) dan di desa Penglipuran jatuh pada tanggal 27
September 2005 , ngusaba bantal merupakan suatu rangkaian upacara yang
mempunyai tujuan menghaturkan sesajen berupa bantal ( kue ) yang semua dibuat
dari ketan, tujuan dari upacara ini yaitu mengucapkan rasa syukur karena apa
yang diharapkan petani berhasil dengan hasil panen yang berlimpah.
6.
Ngaturang Upeti jatuh pada sasih
Desta ( bulan ke sebelas ) Merupakan
suatu rangkaian upacara yang bertujuan menghaturkan terima kasih atas hasil
panen yang telah diberikan oleh Tuhan, sehingga perlu menghaturkan upeti berupa
sesajen kehadapan Ida Shang Yhang Whidi Wasa
( Tuhan Yang Maha Esa ) atas karunianya.
Selain hal di
atas masih banyak lagi ritual – ritual yang ada kaitannya dengan makna
pelestarian yang menjadi tradisi masyarakat Bali pada khususnya seperti :
Tumpek Uye / Uduh / Pengatag jatuh pada wuku
Wariga, pada hari tersebut warga masyarakat mengadakan selamatan terhadap
tanaman dan sebagainya, pada tumpek ini warga masyarakat mengucapkan syukur
terhadap apa yang telah diberikan oleh tanaman berupa hasilnya kepada manusia,
manusia wajib memelihara tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan baik dan
menghasilkan panen yang berlimpah. Disini manusia harus melestarikan tumbuh-tumbuhan
disekitarnya untuk kepentingan manusia itu sendiri, makna dari tumpek tersebut
mengandung makna pelestarian lingkungan alam berupa pelestarian tumbuhan atau
tanaman.
Tumpek
Landep
jatuh pada wuku landep dan merupakan upacara yang ditujukan mengaturkan sesajen
kepada senjata pusaka, benda tajam dari besi lainnya. Pemujaan ditujukan kepada
sang Hyang Pasupati, makna dari ritual ini sebagai rasa terima kasih kepada
benda-benda tajam yang sejenisnya dari besi karena telah dipakai mencari nafkah
oleh manusia, dalam kaitanya dengan pelestarian yaitu mengandung makna tetap
melestarikan benda-benda sejarah dan purbakala.
Tumpek
Kandang
yaitu merupakan suatu upacara keagamaan yang bertujuan memberikan sesajen
kepada hewan peliharaan yang telah banyak membantu manusia, manusia memelihara
hewan dengan baik, sehingga terjadi keseimbangan antara manusia dengan hewan
peliharaan, makna upacara ini dalam pelestarian lingkungan fauna atau binatang,
menjaga kelestarian pertumbuhan hewan.
Tumpek
Krulut
yaitu hari iber-iber ( unggas ) dimana manusia mengucapkan syukur kepada Tuhan
bahwa unggas dan sejenisnya telah banyak manfaatnya sehingga manusia wajib
memelihara binatang ternak dengan baik, makna dari ritual ini adalah
pelestarian hewan berupa ternak.
Tumpek
Wayang
yang merupakan suatu upacara ritual yang berkaitan dengan pelestarian khususnya
wayang, tumpek ini jatuh pada wuku wayang dan pada hari ini biasanya para
dalang melakukan ritual untuk menyelamati wayang miliknya yang telah setia
dalam perjalanan hidupnya mencari nafkah, upacara ini merupakan suatu rangkaian
mengucapkan rasa syukur dan mengagungkan kesenian, pemujaan ditujukan kepada Dewa
Iswara sebagai Dewa Kesenian, makna dari tumpek wayang adalah pelestarian
kesenian sehingga Bali bisa terkenal karena pelestarian budaya yang tinggi
melalui upacara ritual yang kebanyaknya berkaita dengan pelestarian.
Mebiyukukung merupakan suatu upacara yang
dilakukan sebelum dimulainya panen di sawah, upacara ini dilakukan setiap
petani memulai panennya, upacara ini
memohon kepada Tuhan atas limpahan yang diberikan kepada petani atas hasil
sawah yang diberikan. Upacara ini dilakukan dipemuku air ( tempat air mengalir
pertama ke sawah ) makna dari upacara ini adalah tetap menjaga kelestarian air
dan lingkungan persawahan.
Mecawu adalah suatu rangkaian
upacara setelah panen yang dilakukan di
rumah petani masing-masing, dimana hasil panen tersebut diselamati dan
mengucapkan bersyukur atas hasil penen
yang ditujukan kepada Betari Sri yang merupakan manifestasi Tuhan karena telah
memberikan hasil panen yang baik, upacara ini dilakukan untuk penyimpanan hasil
panen yang dinaikan ke lumbung padi yang
berada dirumah.
Ngusaba
Nini
yaitu rangkaian upacara yang dilakukan di
Desa dimana desa mengadakan syukuran terhadap hasil-hasil panen yang
diberikan Tuhan selama ini, upacara ini semua berkaitan dengan hasil panen,
namun upacara ini dilakukan di desa yang bertujuan untuk keselamatan panen yang
berhasil, makna dari upacara ini dalam pelestarian yaitu menjaga kelestarian
lingkungan setelah usai panen. Makna lain dalam pelestarian yaitu mengembalikan
keseimbangan alam setelah dipanen yaitu dengan jalan menyuburkan kembali
tanaman tanaman sehingga panen berikutnya akan berhasil.
Ngerasakin yaitu sama dengan maknanya
dengan mebiukukung dimana mengucapkan syukur kepada Tuhan atas hasil kebun atau
landang, upacara ini dilakukan manakala setelah panen di kebun dilakukan, makna
pelestarian yang ada yaitu mengembalikan keseimbangan kebun dan bersyukur atas
hasil penen.
Mecaru yaitu suatu upacara yang
dilakukan disawah atau kebun setelah panen, upacara ini bertujuan untuk
mengembalikan keseimbangan alam dimana waktu panen terjadi suatu kesalahan yang
disengaja atau tidak di lingkungan kebun atau sawah sehingga terjadi netralisir
alam. Mecaru selain di atas juga dilakukan oleh umat Hindu setiap ada suatu
perubahan terhadap lingkungan seperti pembuatan tempat rumah, pembuatan tempat
ibadah, serta tempat-tempat lain yang mengakibatkan perubahan suatu posisi tempat menjadi berubah
seperti pembukaan lahan. Fungsi dari upacara ini mengembalikan unsur-unsur
jahat ke alamnya sehingga terjadi keseimbangan alam nyata dan tidak nyata (
sekala niskala ). Selain itu dalam upacara mecaru juga dilaksanakan secara
vertikal tingkat Propinsi sampai desa-desa dan paling akhir di rumah
masing-masing. Semua bertujuan untuk menjaga kesimbangan alam makro kosmos
dengan mikro kosmos.
D.
Pemberdayaan Peran Lembaga desa Pakraman / adat
D.1.
Pemberdayaan Desa Pakraman
Dikatakan oleh
I Made Susatha Dharmayuda dalam Peranan Desa Pakraman bahwa gambaran ideal dari
desa Pakraman adalah dalam wujudnya sebagai Sima
Swatantra ( Desa Madani ), sebagai desa menentukan kehidupan “ Civil Society “ maka desa Pakraman harus
memenuhi substansi :
1.
Masyarakat
berasaskan kedaulatan rakyat dengan kesetaraan hak yang bersifat demokratis
2.
Memiliki
kematangan sosial dengan tingkat kepatuhan hukum yang tinggi dan mampu
menampilkan sikap merdeka serta menghargai kemerdekaan orang lain.
3.
Otonom
: memiliki ruang dan wacana publik yang tidak bisa diintervensi pihak luar
4.
Mandiri
memecahkan persoalan yang ada dan diduga akan ada ( poleksosbud ) dengan
menggunakan kearifan lokal ( local genius
)
Dari
substansinya ini kemudian diwujudkan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat, kemampuan memposisikan harga diri masyarakat, kemampuan menumbuhkan
kesadaran menolong diri sendiri, kemampuan menciptakan potensi ekonomi andalan
di masyarakat untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam
kaitannya dengan pemberdayaan desa Pakraman sebagai institusi tradisional perlu
diperhatikan pandangan dari Dirjen kebudayaan yang berpendapat bahwa, untuk
masyarakat Bali kunci pempertahankan
kebudayaan ada pada kekuatan institusi keagamaannya. Untuk itu integrasi
internalnya dengan mempertahankan keberdayaan institusi-institusi. Di luar itu
ada pula sejumlah institusi modern, seperti pendidikan formal dan
organisasi-organisasi kesenian lintas banjar, yang dapat berperan sebagai
dinamisator, sebagai penantang.
Kedua jenis
institusi itulah yang harus dilihat sebagai kekuatan kelembagaan inti,
sedangkan institusi-institusi ekonomik termasuk di dalamnya kepariwisataan dan
industri budaya, adalah institusi-institusi pinggir, dalam arti yang mengambil
manfaat dalam upaya-upaya pemasaran. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum
masyarakat, institusi-institusi ekonomi itu sangatlah penting, namun tidak
pernah boleh dilupakan bahwa sumber inti kreatifnya di seberang sana harus tetap dijaga
kekuatannya. Bahkan pemeliharaan sumber itu seharusnya menjadi satu komponen
yang terpadu dalam sistem ekonomik dalam arti luas. ( Edi Sdyawati, 1996 ).
D.2.
Meningkatkan Peran Desa Adat
Peran desa
adat dalam aktivitas kepariwisataan mencakup pada tiga aspek yang perlu terus
menerus ditingkatkan yaitu.
1.
Aspek
perencanaan dan pengambilan keputusan
2.
Aspek operasional dalam hal menjalankan usaha
kepariwisataan
3.
Aspek
pengawasan
Unsur-unsur
yang menjadi bidang pengawasan dari desa adat yang berkaitan dengan pelaksanaan
aktivitas kepariwisataan mencakup:
a.
Unsur Parhyangan
yakni yang berkaitan dengan keagamaan / kepercayaan seperti :
kesucian
pura dan kawasan / tempat lainnya
konsep-konsep
kehidupan yang bersumber pada agama Hindu
b.
Unsur
Pawongan yakni yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan seperti :
konsistensi pelaksanaan aturan dibidang pariwisata
menjaga
tatakrama dan tata busana
terpeliharanya
seni budaya
c.Unsur Palemahan yakni
mencakup lingkungan alam seperti :
kesucian
palemahan desa adat
kesucian
dan kelestarian pantai
keindahan
lingkungan
terjaganya
peninggalan sejarah dan purbakala
D.3.
Optimalisasi Peran Desa Pakraman / Adat
Dalam usaha mengoptimalkan peran dan otonomi
desa adat ( desa Pakraman ) perlu diciptakan kondisi yang kondusif serta tetap
mengingat dan berpegang pada susunan dan hak-hak asli serta sifat istimewa dari
desa Pakraman. Ini artinya harus melihat pada kedudukan desa Pakraman sebagai
republic Desa ( dorp republiek )
yakni sebagai desa otonom, desa Pakraman merupakan subyek hukum yang dapat
melakukan tindakan-tindakan hukum. Misalnya tindakan :
1.
Mengambil
keputusan dan membuat peraturan
Dalam hal mengambil keputusan yaitu
secara langsung mempunyai hak untuk memutuskan suatu keputusan setelah mendapat
dukungan dari warga masyarakat. Dukungan tersebut juga dalam pembuatan
awig-awig atau aturan yang dilakukan sebelumnya secara mufakat.
2.
Menjalankan
pemerintahan desa
Untuk menghdupkan operasioanl
pemerintahan desa merupakan wewenang dari lembaga adat, hal ini sangat
diperlukan oleh warga masyarakat dalam keperluannya.
3.
Memilih
pengurus desa
Dalam menjalankan pemerintahan desa
pakraman diperlukan adanya pengurus yang bisa menjalan tata administrasi. Maka
disini merupakan hak lembaga desa Pakraman dalam memilih prajuru desa tersebut.
4.
Memiliki
harta benda, tanah dan kekayaan sendiri
Desa
pakraman memiliki harta sendiri yang berupa aset pura dan laba pura semua itu
merupakan druwe / milik pura seperti tanah setra ( kuburan ), tanah-tanah pelaba pura, tanah-tanah telajakan
pura serta tanah lainnya yang berlokasi di luar dari Pura
5.
Menggali
dan menetapkan sumber-sumber keuangan sendiri Desa Pakraman karena merupakan
desa adat yang otonom secara langsung dalam menggali dan menetapkan keuangan
juga dilakukan secara mandiri tanpa ada ikut campur pihak lain.
6.
Menyusun
anggaran penerimaan dan pengeluaran keuangan desa
Begitu juga dalam penyusunan anggaran
dan rencana pengeluaran keuangan mereka sendiri yang mengatur
7.
Menyelenggarakan
gotong royong
Masalah gotong royong merupakan
kewajiban para warga untuk menjaga kebersihan lingkungan yang dimulai dari
areal perumahan masing-masing warga, gotong royong ditentukan oleh desa adat
kapan akan dilaksanakan semua merupakan wewenang desa adat.
8.
Menyelenggarakan
pengamanan dan peradilan desa
Dalam masalaha keamanan lingkungan
masyarakat , desa adat mempunyai mekanisme pengamanan sendiri dengan membagi
wilayahnya menjadi beberapa tempek yang mempunyai tugas menjaga lingkungan
disekitarnya.
9.
Menyelenggarakan
usaha lain demi kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam usaha ini desa adat mempunyai
kewenangan yang mutlak untuk mencari dukungan lain demi kesejahteraan warganya.
Tindakan-tindakan hukum tersebut diatas
menunjukan bahwa desa Pakraman memiliki : inisiatif sendiri, tanggungjawab, kebebasan,
dan kemandirian . Semua unsur diatas merupakan ciri-ciri masyarakat madani,
sehingga desa Pakraman merupakan kelompok masyarakat madani yang akan secara
optimal dapat menyelenggarakan fungsinya hanya kalau tetap dapat menjalankan
otonomi aslinya yang bersifat istimewa.
D.4. Eksistensi dan Kewenangan Warga Desa Adat
Dikatakan
oleh I Made Suasthawa Dharmayuda dalam Peranan Desa Pakraman bahwa secara yuridis kedudkan lembaga-lembaga adat di Bali sangat kuat, karena mendapat dasar pijakan dari Pasal
18 UUD 1945. menurut Undang-undang Dasar tersebut lembaga-lembaga adat yang ada
di Indonesia
tercakup dalam pengertian “ Volksgemeenschappen
“ ( persekutuan rakyat ) yang mempunyai susunan asli dan bersifat istimewa.
Demikian pula setelah keluarnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, Volksgemeenschappen
ini tetap mendapat pengakuan melalui Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5
tahun 1979, butir 6. hanya saja dalam kewenangan mengatur otonominya tidak
sepenuhnya dan tak sebebas pada masa kerajaan.
Dewasa ini
lembaga-lembaga adat bukanlah republic lagi, tetapi ia berada dibawah republic
( Negara Republik Indonesia
). Desa Adat , banjar dan subak tetap boleh membuat dan melaksanakan awig-awig
atau hukum adatnya, tetapi tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. Dalam
penyelesaian perkara adat kepala adat atau bendesa adat hanya boleh bertindak
sebagi hakim perdamaian. Dan dibenarkan mengenakan pidana, sebatas hal itu
dilakukan untuk mengatur keseimbangan “ religio
magis “
D.5. Hak dan
Kewajiban Warga Desa Adat
Hak-hak warga desa adat
Desa
adat adalah masyarakat hukum desa atau lembaga adat yang memiliki otonomi di
dalam mengatur dirinya, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. di dalam mekanisme kehidupan desa adat, maka desa
adat mempunyai hak-hak tertentu sebagai imbangan atas kewajibannya seperti
berhak memilih kepala desa adat, ikut serta dalam sangkepanan (rapat) desa
adat, ikut serta dalam pemerintahan desa adat bersama-sama prajuru lainnya
serta berhak dipilih sebagai prajuru dan lain-lainnya.
Kewajiban
Setiap
warga desa adat memikul kewajiban-kewajiban yang patut dipenuhi atau
dilaksanakan, kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat adalah merupakan
kewajiban sosial yang patut dilaksanakan oleh manusia. namun kewajiban warga
desa adat dalam hal ini adalah :
1.
Melaksanakan ayahan desa ( tugas-tugas krama desa ) yang
mana ayahan berupa kerja bakti, menyelenggarakan upacara, serta
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan desa adat.
2.
Wajib tunduk dan mentaati
peraturan-peraturan yang berlaku bagi desa adat yaitu awig-awig baik tertulis
maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang telah berlaku, selain itu
kewajiban umum yaitu menjaga keamanan dan ketertiban serta ketentraman bersama.
Jumlah krama ( warga ) desa adat penglipuran terdiri dari
krama 76 orang krama desa pengarep dan
dikelompokan menjadi 2 yaitu :
45
orang warga pengarep yang memiliki tanah ayahan desa ( AYDS )
31
orang warga desa pengarep roban, yang tidak memiliki tanah ayahan desa, namun
oleh desa adat diberikan nyakap (
sebagai petani penggarap ) tanah laba desa ( tanah adat ) dengan sistem kontrak
dengan sejumlah beras, kedua kelompok ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dalam desa adat.
Pemukiman
yang ada di Desa Adat Penglipuran semua merupakan tanah adat atau tanah ulayat
dimana masyarakat hanya mempunyai hak pakai. Dan lahan itu merupakan lahan hak
dari desa adat, jadi semua harus berpedoman pada aturan adat dalam penggunaan
lahan tersebut. Kebanyakan di Bali tempat pemukiman adalah merupakan tanah adat
atau tanah hak milik desa.
Peran Lembaga
adat seperti apa yang ada dalam Perda Nomor 6 Tahun 1986 bahwa peran lembaga
adat yaitu sebagai lembaga Pembina, Pelakasan dan melestarikan desa tersebut.
Selain itu mempunyai peran Menata, Mengatur.
E.
Pelaksanaan Pelestarian desa Pakraman / Adat Tradisional Penglipuran
Dalam pelaksanaan pelestarian desa Tradisional Penglipuran dibutuhkan
suatu aturan yang di Bali dikenal dengan awig-awig.
Dan hal-hal yang belum diatur dalam awig-awig atau belum tercakup dalam
awig-awig dimasukan ke dalam perarem, dimana isi perarem sama dengan awig-awig yang harus ditaati oleh warga. Awig-awig
merupakan suatu kumpulan aturan yang fungsinya mengatur tata kehidupan warga
yang bersangkutan. Awig-awig ini merupakan suatu perujudan dari otonomi desa
yang menjadi faktor pendukung utama dari kedudukan desa adat sebagai
persekutuan hukum. Yaitu yang membentuk aturan hukumnya sendiri dan tunduk pada
aturan hukum yang dibuatnya. Isi awig-awig pada umunya menyangkut patokan yang
bertujuan memelihara ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan desa adat ,
sehingga di dalamnya dapat dijumpai pula adanya penentuan sanksi-sanksi bagi
warga yang melakukan suatu pelangggaran. Adanya sanksi yang dapat dijatuhkan
oleh desa merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan dalam menjungjung
tinggi suatu kegiatan dan kebijakan di desa tersebut. seperti yang dikatakan
Bendesa adat ( wawancara tanggal
26 September 2005
)
Pidaging
maka bantang awig-awig desa Adat Penglipuran sami sampun munggah ring awig-awig
punika sekadi aran lan wawidangan,petitis lan pamikukuh,sukerta tata
pakraman,sukerta tata agama,sukerta tata pawongan,wicara lan pimidanda tur
penguah awig-awig . ( isi dari awig-awig Desa Adat Penglipuran semua sudah
tercantum dalam awig-awig seperti perihal batas wilayah,dasar hukum,aturan
warga,aturan agama,aturan perumahan, aturan orang, dan aturan tempat ibadah
serta aturan saksi dan aturan peralihan )
Dalam melaksanakan program pelesatarian memang
perlu ada suatu aturan yang gunanya untuk mengontrol prilaku dari warga
masyarakat, maka disinilah dibutuhkan
suatu aturan yang berupa awig-awig ( aturan Hukum ) , karena tanpa ada awig-awig
lembaga adat tidak akan berfungsi sama sekali. Awig-awig tersebut mempunyai
kekuatan yang diakui olah warga masyarakat, sehingga tidak terjadi hukum alam dimana yang kuat akan selalu berkuasa dan
yang lemah tertindas terus, maka disinilah perlu adanya hukum adat atau aturan
hukum yang mengatur pola tingkah laku warga masyarakat sehari-hari sehingga
mereka bisa hidup berdampingan dengan suasana tenang, tentram dan damai.
Pelestarian
itu bisa berjalan dengan baik, semua itu karena adanya aturan yang berupa
awig-awig dan perarem tadi , Awig-awig
dan perarem dalam pembuatannya bukan hak monopoli kami, semua merupakan hasil
kesepakatan bersama kami selaku warga
masyarakat desa Pakraman Penglipuran.
Dikatakan
oleh salah satu anggota LSM di Bangli yaitu I Dewa Nyoman Astuti SST. Bahwa
dalam pembuatan keputusan perarem atau awig-awig dalam teorinya memang bukan
monopoli bendesa adat, namun dalam praktek yang menentukan keputusan tersebut
kadang-kadang didominasi oleh suatu kelompok yang kuat untuk kepentingannya,
mereka biasanya diintervensi pihak yang mempunyai kepentingan khusus. Sehingga
nantinya banyak warga yang terkena dampak dari aturan tersebut.
Memang di Indonesia selain berlaku hukum positif
juga masih diakui hukum adat, selama ini kebanyakan yang terjadi di daerah Bali bahwasanya hukum adat kinerjanya lebih efektif dari
hukum positif. Seperti di desa tradisional Penglipuran norma-norma adat masih
berfungsi efektif sampai sekarang sebagai sarana menata kehidupan
masyarakatnya. Norma-norma adat juga berfungsi sebagai sarana pengendalian
sosial. Pengendalian Sosial yang dimaksud adalah merupakan mekanisme lembaga
adat untuk mengawasi para warganya dalam berlaku sesuai dengan aturan dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sanksi hukum adat
yang ada di Bali pada umunya lebih keras dari sanksi hukum biasa, hal ini yang
menjadikan warga masyarakat di Bali terbiasa dengan kebiasaan tersebut sehingga
hukum tersebut efektif berjalan sampai sekarang, sanksi adat bisa berimbas pada
keturunannya selain itu hukum adat kadang berlakunya pada saat si terhukum
meninggal, warga akan mengucilkan warga tadi yang terkena kasus tersebut,
sehingga kadang mereka dalam penguburan sering menemui masalah. Maka disinilah
mengapa mereka lebih takut terhadap sanksi hukum adat dari pada hukum positif.
Awig-awig yang terbentuk dari
kebiasaan dan norma-norma merupakan suatu bentuk dan sarana pengendalian sosial
maka nilai-nilai norma adat dan ritual adat sangat dominan dalam kehidupan
masyarakat, hal ini nampak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dimana
mereka lebih dominan bertingkah laku berpedoman pada hukum adat, kecuali hal-hal yang bersifat kriminal. Namun
kadang-kadang permasalahan yang timbul di masyarakat selalu terlebih dahulu
dilihat dari aspek hukum adat yang berlaku di desa adat tersebut dan
diselesaikan pada tingkat adat. dan apabila di tingkat adat menemui jalan buntu
atau tidak bisa diselesaikan secara adat barulah diteruskan ke lembaga
yang lebih berkompeten.
Pada pertemuan tokoh-tokoh Hindu yang diadakan di
Pasraman Gurukulla Bangli waktu ini seperti tokoh Suryani yang memperhati
masalah perempuan Bali dan adat mengatakan bahwa cengkraman aturan adat dengan
berbagai paradigma sanksi yang ada membuat ruang gerak masyarakat Bali
terkurung. Ketakutan bisa muncul manakala tidak bisa ikut aktif dalam setiap
aktivitas adat. Tidak sedikit gara-gara terlalu sering tidak tedun ngayah dalam
kegiatan adat dan banjar, diganjar dengan sanksi berat seperti kasepekang.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat Bali yang berada di perantauan merasa was-was.
Padahal masyarakat dituntut memilki pendidikan dan pekerjaan lebih baik dalam
membentengi Bali ke depan.
Hal senada juga disampaikan oleh sorang tokoh masyarakat yang
ikut hadir dalam pertemuan antar tokoh Hindu tersebut mengatakan bahwa peraturan atau awig-awig yang berlaku di
Bali sering bersifat kaku sebagai contoh kasus-kasus yang ada di Bali sekarang ini dimana warga
merasa tertekan oleh aturan yang memberatkan sehingga pada akhirnya mereka
kasepekang, yang mana efek dari sanksi tersebut
sangat memberatkan warga, hal Ini seharusnya tidak akan terjadi bila
semua arief dan bijak dalam menyikapi pelaksanaan ketentuan tersebut. Sehingga
tidak terjadi benturan-benturan yang hanya menguntungkan seseorang yang
mengambil kesempatan dalam kekacauan. Di Kabupaten Bangli banyak terjadi kasus
Adat, seperti masalah tapal batas wilayah Desa Pakraman yang tidak jelas. Hal
ini bisa dipicu oleh ada warga yang berdiam di wilayah desa pakraman Desa A
namun mereka berdesa kraman di Desa B sehingga mereka membuat masalah baru
apakah mereka masuk ke wilayah desa pakaraman mana. Contoh lain kasus
penguburan mayat seperti yang terjadi di desa Demulih dimana salah seorang
warga tidak dibolehkan melewati desa tersebut karena warga tersebut tidak
masuk menjadi anggota dalam desa
pakraman, mereka tidak boleh melewati desa tersebut karena desa akan cuntaka (
sebel, kotor ), karena biaya untuk
membersihkan desa dari cuntaka cukup besar . Contoh lain ada warga mempunyai
rumah di salah satu desa yang mana tanah tersebut merupakan tanah ayahan desa, namun
mereka tidak menempati rumah tersebut dan mereka jarang untuk bersosialisasi
dengan warga sehingga mereka mendapat kesulitan di desa tersebut yang bisa
sanksinya mereka harus pindah dari desa tersebut.
Dikatakan lebih lanjut oleh I Dewa Nyoman Astuti, SST.
Memang benar kebanyakan awig-awig tersebut terkesan kaku semestinya harus berlaku pleksibel dan tidak mengorbankan
kelompok tertentu, jangan sampai
awig-awig yang berlaku di suatu desa membuat warganya merasa tertekan, seperti
kasus-kasus yang terjadi sekarang ini kebanyakan masalah adat dimana warga
masyarakat yang terkena kasus sepertinya tidak diberi ruang gerak untuk membela
diri atau memperbaiki perilaku yang salah tersebut, seharusnya sanksi itu harus
mendidik. Disini
kadang-kadang ada kepentingan pribadi yang masuk. Jika awig-awig tersebut terus
menerus kaku niscaya akan banyak umat akan pindah agama atau berpaling ke agama lain. Masyarakat atau warga
terhimpit di daerahnya sendiri oleh aturan yang berlaku..
Lebih
lanjut dikatakan I Dewa Nyoman Astuti, SST bahwa seharusnya awig-awig yang
sudah tidak sesuai dengan jaman harus direvisi atau diperbaiki sehingga tidak
memberatkan warga, hal-hal yang sudah tidak sesuai harus segera dirubah atau
diamandemen sehingga aturan tersebut mengikuti jaman. memang warga akan selalu
menjalankan awig-awig atau aturan tersebut dalam keadaan terpaksa dan bukan
tumbuh dari kesadaran diri sendiri namun karena takut akan sanksinya yang
berat.
Bendesa adat mengatakan bahwa sudah banyak aturan
awig-awig yang sudah diamandemen hal ini dilakukan dengan musyawarah atau
sangkepan yang diadakan warga sehingga hasil dari sangkepan tersebut menjadi
sebuah perarem hasil dari perubahan aturan tersebut.
Dalam wawancara tanggal 20 September 2005
dengan Bendesa Adat Desa Pakraman
Penglipuran mengenai peran lembaga desa Pakraman / Adat dalam pelaksanaan
pelestarian desa Tradisional, dikatakan bahwa peran Lembaga Adat di desa ini
sangat besar, dimana Lembaga Adat / khususnya kami selaku Bendesa Adat dianggap
sebagai orang tua oleh warga masyarakat, karena semua masalah adat yang ada
dalam masyarakat penanganannya selalu
melibatkan Bendesa Adat yang dianggap lebih tahu masalah Adat. Apalagi semua kegiatan
keagamaan dan upacara agama selalu berkaitan dengan adat, sehingga kami sering
merasa kewalahan mendapat beban menjadi Bendesa Adat. Tapi kami harus bekerja
semaksimal mungkin karena itu merupakan tanggungjawab kami selaku Bendesa Adat yang
sudah diberi kepercayaan oleh warga masyarakat . Namun dalam hal pelestarian
desa tradisional Penglipuran ini sangat diperlukan partisipasi dari masyarakat untuk
mendukung dan mentaati aturan-aturan yang telah disepakati bersama sehingga
bisa berjalan dengan baik. Telah diuraikan diatas bahwa peran dari lembaga adat
adalah mulai dari menata, mengatur,
mengawasi dan membina. Sebagai orang yang dituakan dan diberikan kepercayaan
oleh masyarakat, kami selaku Bendesa Adat harus bisa mengoyomi dan membina warga masyarakat sehingga merasa tentram dan damai. Disinilah tugas atau
peran lembaga adat sangat berat. Satu sisi harus memberi suri tauladan atau contoh yang baik bagi masyarakat dan disatu sisi lagi mempunyai tugas harus bisa melestarikan
tradisi serta kebiasaan-kebiasaan yang harus
dijaga dan tetap dilestarikan karena itu merupakan kebudayaan yang tak ternilai
harganya.
Dalam
upaya melestarikan desa tradisional, bendesa
adat mengefektifkan aturan-aturan atau awig-awig yang ada di desa Pakraman
Penglipuran yang telah menjadi kesepakatan bersama warga masyarakat. Dan jika
aturan atau awig-awig tersebut ditaati atau dijalankan secara maksimal sudah
pasti apa yang dinginkan atau diharapkan
akan berhasil, seperti halnya kami disini untuk menjaga desa ini tetap lestari
semua itu berkat dukungan , partisifasi dan keikutsertaan warga masyarakat
untuk menjaga serta melaksanakan program-program desa Pakraman yang telah
disepakati. Selain itu kami juga
mengajak warga masyarakat dengan kesadarannya sendiri untuk tetap
menjaga tradisi tersebut dengan mengacu pada ajaran agama dan aturan yang sudah menjadi kesepakatan kami
bersama. Kesadaran dari dalam diri sendiri sangat diperlukan dan jika tidak ada
kesadaran dan partisipasi dari warga masyarakat niscaya kami bisa melestarikan desa ini sehinnga seperti
sekarang.
Ida Bagus
Sudewa, S.Sos mengatakan bahwa jangan sampai pelestarian suatu desa mempunyai
maksud tertentu yang tujuannya kebanyakan berorientasi kekomersial yang
ujung-ujungnya uang, memang sekarang telah banyak terjadi perubahan dimana
alasan untuk melestarikan suatu desa namun disisi lain dimanfaatkan untuk
kepentingan lain seperti untuk mendapatkan sumbangan dari pihak ketiga. Pemerintah
dalam hal pelestarian juga seharusnya melihat sisi yang baiknya jangan
memberikan bantuan dengan maksud lain dibelakangnya pelestarian dijadikan suatu
obyek yang komersiil sehingga pelestarian hanya untuk kepentingan mengejar
pendapatan asli daerah saja dan bukan mengajegkan Bali.
Pelestarian
seharusnya tumbuh dari hati nurani atau lubuk hati setiap warga yang dengan
hati tulus ingin mempertahakan tradisi-tradisi yang mereka punyai untuk
kepentingan generasi selanjutnya dan bukan paksaan yang berujung komersiil, hal
ini yang hanya menimbulkan maslah terhadap nilai budaya bangsa yang akan kian
terkikis. Mereka melestarikan desanya hanya untuk kepentingan uang dan jauh
dari makna pelestarian yang sebenarnya. Disinilah tugas Bendesa Adat untuk
melestarikan desa tradisional jangan ada kepentingan lain dibalik pelestarian
yang didengungkan namun niatnya komersiil, disinilah diperlukan kesadaran dan kepentingan
mulia melaksanakan pelestarian adat demi kelangsungan ajeg Bali.
Pelestarian
Desa Tradisional Penglipuran bukan hanya peran lembaga desa pakraman secara
tunggal , namun diperlukan dukungan dari
berbagai pihak seperti dari Pemerintah, Swasta, Tokoh masyarakat, tokoh agama
dan Warga.
Sementara itu
dari pihak pemerintah perhatiannya
sangat serius dan antusias untuk
mengajegkan Bali, hal ini dipercayakan
kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
melalui Kepala Bidang Adat Istiadat dan Warisan Budaya beserta Instansi terkait
. dari berbagai instansi tersebut terbentuk tim yang bertugas sebagai pembina
terhadap Desa Pakraman dan sekehe Teruna - teruni ( STT ).
Hal ini diperjelas oleh Kepala Bidang Adat Istiadat dan Warisan Budaya
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. Drs. I Gede Artha ( wawancara
tanggal 10 Oktober 2005 ) , bahwa Pemerintah Kabupaten Bangli konsen terhadap
pelestarian desa-desa Pakraman di Bangli . Pembinaan dilakukan secara berkala
ditiap-tiap desa yang ada di Kabupaten Bangli untuk membina sekeha
teruna-teruni juga terhadap aparat desa Pakramannya. Pembinaan dilakukan supaya
tetap mempertahankan kelestarian Desa Pakraman. Dalam pembinaan sekeha teruna-
teruni terus berlanjut sampai pada tahap lomba-lomba antar desa pakraman dan
pada tingkat kabupaten serta terakhir pada tingkat propinsi. Semuanya itu
bertujuan untuk menjaga keajegan Bali serta
agar generasi muda tetap ingat akan darmaning sesana ( kewajiban ) , mereka sebagai generasi penerus supaya bisa
tetap menjaga kelestarian desa Pakraman dan menjaga Bali tetap ajeg.
Begitu juga dalam pembinaan terhadap lembaga desa Pakraman juga dilakukan
secara berkala dan sama seperti pembinaan sekaha teruna-teruni juga dilanjutkan
dengan lomba yang sampai tingkat propinsi dimana yang dinilai adalah sesuai
aturan yang ada seperti kreteria pawongan, palemahan dan parhyangan, ini juga
bertujuan untuk menjaga agar adat Istiadat Bali tetap tumbuh dan berkembang
sehingga kelestarian desa-desa Pakraman di Bangli dan di Bali pada umumnya
lestari dan tetap ajeg.
Dikatakan oleh I Dewa Nyoman Astuti bahwa jangan pembinaan hanya tertujuan
politik yang hanya dilakukan bila ada intruksi dari atas dan dilaksanakan hanya
memenuhi agar bapak senang saja, namun harus didasari oleh beban moral yang
mana bertujuan demi keajegan Bali.
Dalam pelestarian berbagai kesenian tradisional yang hampir punah, oleh
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli mempunyai Program yang
tujuannya menggali kembali terhadap kesenian-kesenian lama yang telah lama
punah, seperti yang diungkapkan Kepala Didang Kesenian dan Pemeliharaan Seni
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli yaitu Anak Agung Gde Jaya
Muditha, SH ( Wawancara tanggal 10 Oktober 2005 ), bahwa kita harus bangga
mempunyai beraneka ragam kesenian dan itu harus tetap dilestarikan. Desa–desa
di Bangli pada umumnya mempunyai tradisi dan kesenian yang menjadi ciri khas
desa tersebut dan disakralkan dan kesenian tersebut tidak dipunyai desa
laiinya. Kemungkinan dahulu Kabupaten Bangli merupakan pusat kerajaan pertama
di Bali sehingga banyak tumbuh kesenian-kesenian tradisional yang mempunyai
kesakralan tinggi. Oleh pemerintah dilakukan pembinaan dan pendataan semua
kesenian yang ada ditiap desa dan nantinya diadakan pembinaan terhadap sekeha
kesenian tradisi lama sehingga kesenian lama tersebut tumbuh lagi.
Kesenian-kesenian lama atau tradisional
tersebut nantinya selalu ditampilkan dalam berbagai even di tingkat Kabupaten
dan tingkat propinsi melalui Pesta Kesenian Bali, semua ini bertujuan menjaga
agar kesenian dan tradisi Bali agar tidak Punah dan tetap lestari dan bisa
diingat sehingga dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Lebih lanjut dikatakan oleh Kapala Bidang Kesenian dan pemeliharaan Seni
bahwa pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta melakukan pembinaan terhadap
sekeha-sekeha kesenian tradisonal yang
sudah tidak eksis lagi sehingga mereka bisa kembali eksis. Salah satunya adalah
sanggar Pradesa yang bersama pemerintah mempunyai misi untuk menggali dan mempertahankan
serta mengembangkan bentuk-bentuk kesenian lama sehingga bisa eksis, jalan yang
diambil yaitu dengan memberi dukungan kepada sanggar-sanggar atau seniman
tradisional supaya mereka berkarya lagi untuk menambah kasanah kesenian.
Pembinaan yang dilakukan bertujuan untuk membangkitankan kembali semangatnya
karena merasa mendapat perhatian dari pemerintah. Dari hasil pembinaan akan
berkembang lagi banyak kesenian sehingga menambah keanekaragaman seni budaya
yang dulu pernah berjaya. Aneka kesenian
yang telah dibina nantinya semuanya akan selalu ditampilkan dalam even Pesta
Kesenian Bali dari tingkat kabupaten sampai tingkat propinsi, selain itu
pemerintah melalui dinas Kebudayaan dan Pariwisata memberikan penghargaan
kepada seniman-seniman tua yang berprestasi dan
telah berjasa dalam hal seni di Kabupaten Bangli.
Selain itu dari pihak pemerintah kabupaten Bangli melalui bagian sosial
selau mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap sekeha teruna dan kursus-kursus
membuat banten dan kursus pemangku sebagai pemucuk ( pimpinan ) dalam pelaksanaan upacara
yadnya.
Pelestarian desa Pakraman Penglipuran juga mendapat sambutan dan perhatian
yang baik dari tokoh masyarakat , mereka sangat
aktif mendukung program tersebut.
Ini mungkin didasari oleh semangat mereka yang kuat ketika mereka membangun
desa ini sehingga desa ini menjadi seperti sekarang indah dan damai. Seperti yang dikatakan
tokoh masyarakat atau sesepuh desa ( wawancara tanggal 26 September 2005 )
Duki dumun titiyang sareng warga
sinamian ngewangun desa puniki antuk rasa bakti ring leluhur mawinan wenten
hasil sekadi mangki (
bahwa dalam awal pembangun desa ini kami dengan warga masyarakat membangun
dengan semangat luhur yang kuat sehingga anda bisa lihat hasilnya seperti sekarang ini ).
Pihak swasta
lain yang berperan dalam dunia pariwisata adalah PHRI atau Perhimpunan Hotel dan Restouran Indonesia,
mereka memberikan suatu dukungan berupa
dana sebesar Rp. 10.000.000 setiap tahun, uang itu bisa dipergunakan oleh warga
masyarakat untuk proses kegiatan yang ada kaitannya dengan desa Pakraman. Oleh
pihak PHRI atau swasta hal ini dilakukan karena berkaitan dengan dunia
pariwisata dimana obyek wisata merupakan sarana pendukungnya karena saling berkaitan, dimana wisatawan perlu
obyek Daya Tarik wisata, karena wisatawan datang bukan hanya untuk menginap dan
makan direstauran tapi mereka butuh represing dengan melihat keindahan alam dan
budaya yang ada. Yang pasti dukungan yang dilakukan swasta terhadap pelestarian
desa Tradisional Penglipuran hanya untuk kepentingan komersiil semata dimana
untuk menarik wisatawan saja dan bukan untuk kepentingan pelestarian secara
murni.
Selain dukungan dari pemerintah, swasta juga adanya dukungan yang baik dari
masyarakat setempat hal ini dikatakan oleh Bendesa Adat I Wayan Supat
( wawancara tanggal 26 September 2005 ) bahwa dukungan masyarakat sangat
diperlukan dalam menciptakan stabilitas desa ini serta kelestarian desa ini,
dukungan tersebut merupakan suatu hal yang sangat positif dan dapat menjadi
pemacu sehingga semangat untuk tetap melestarikan desanya tetap terjaga, mereka
sangat mendukung sekali adanya
pelestarian desa disini, sebab itu sudah menjadi komitmen warga kami yang sudah
dari dulu tetap menjaga kelestarian apa yang menjadi milik kami. Apalagi desa
kami dijadikan obyek daya tarik wisata berupa desa tradsional, sehingga dalam
rangka meningkatan taraf hidup warga masyarakat terjadi yang mana akan
terciptanya lapangan pekerjaan baru dan kesempatan kerja. Perkembangan roda perekonomian masyarakat dapat berputar dengan
pertumbuhan perekonomian desa yang semakin baik dan menjadi merata. Desa akan
mendapatkan Pendapatan juga masyarakat mendapat keuntungan dengan adanya
wisatawan yang datang berkunjung ke desa kami, selain itu ada rasa bangga
karena desa kami menjadi salah satu tujuan wisata yang dipunyai kabupaten
Bangli dan bahkan sudah dikenal dimanca Negara. Dilihat dari apa yang dikatakan
Bendesa Adat di atas dapat dikatakan bahwa pelestarian desa tradisional sudah
bukan bertujuan untuk pelestarian secara murni tetapi sudah bergeser ke arah
komersiil
Selain itu bentuk dukungan yang dilakukan warga masyarakat yaitu dengan
selalu ikut aktif setiap ada kegiatan yang dilakukan di desa Adat, hal ini
terlihat dari kehadiran mereka jika ada suatu sangkepan yang dilakukan setiap
Purnama tilem, Anggarkasih dan tumpek. Mereka hadir dengan semangat yang
tinggi. Mereka dalam sangkepan tersebut membahas persoalan dan permasalahan
yang dihadapi oleh warga masyarakat. Dalam pertemuan tersebut warga masayarakat
diberi peluang untuk mengemukakan apa yang menjadi persoalan di desa adat.
Dalam sangkepan selain warga masyarakat membahas persoalan yang terjadi juga
membahas program-program yang berkaitan dengan desanya. Seperti agenda gotong
royong atau dalam istilah orang Bali disebut ngayah. Dalam rapat atau paruman
tersebut acaranya juga seperti pengadilan kecil dimana warga yang mempunyai
permaslahan akan dibahas dan disidangkan dalam waktu itu juga dan langsung
ditetapkan siapa yang bersalah dan benar dan disaksikan warga lain sehingga
nantinya yang bersalah akan dikenai denda bisa berupa uang atau sanksi lain
yang berlaku di desa tersebut.
Seperti yang
dikatakan salah satu warga masyarakat atau Krama Desa Adat Penglipuran bahwa :
Titiyang derika minekadi warga atawi
krama tiap purnama tilem, anggarkasih atawi tumpek paum di bale banjar, ring
acara punika membahas minekadi pabligbagan sane kedruewening krama, ring galah
punika warga sane medua pikobet dados ngutarayang napi sane mekadi pikobet. ( saya sebagai warga atau
Krama selalu mengikuti acara rapat pada setiap purnama,tilem dan anggarkasih
dan tumpek, dalam acara tersebut sebagai ajang membahas persoalan yang dipunyai
warga, pada kesempatan itu warga boleh mencurahkan persoalan yang menjadi
masalahanya.
Dalam
mengantisifasi pengaruh jaman yang serba modern dan arus globalisasi sudah
pasti terjadi pengaruh yang besar terhadap perkembangan penduduk khususnya
generasi muda, mereka akan mengikuti arus jaman yang memang akan lewat. Dikatakan
oleh Bendesa Adat bahwa untuk menangkal perkembangan jaman dan arus globalisasi
serta teknologi dan komunikasi yang semakin berkembang sehingga masuk sampai
kepelosok-pelosok desa dan sangat berpengaruhi terhadap tatanan kehidupan warga
masyarakat disini, semua itu sebenarnya berpaling lagi terhadap kepribadian
orang itu sendiri dan semua juga bertumpu dari dasar keimanan orang tersebut
dan jika dasar keimanannya kuat pasti mereka tidak begitu terpengaruh, memang
disini dasar keyakinan yang bertumpu pada agama harus dipupuk mulai kecil sehingga
mereka bisa membedakan yang baik dan buruk. Namun kami selaku Bendesa adat juga
mempunyai komitmen untuk tetap menjaga warisan leluhur kami setidaknya bisa
membendung arus globalisasi dengan jalan kami menggalakkan sekeha-sekeha yang
kami buat bersama seperti sekeha pesantian, sanggar-sanggar, sekeha gong,
sekeha baris dan juga sekeha yang bertujuan sosial, juga generasi mudanya
diaktifkan kearah yang lebih positif melalui sekeha Daha atau teruna-teruninya
( muda-mudi ), sehingga mereka bisa merasa memiliki dan mencintai desanya. Dan
selama ini masyarakat Bali bisa bertahan dari
pengaruh globalisasi dikarenakan masyarakat Bali
masih memegang teguh Adat dan
tradisinya, sehingga Bali terkenal dari adat
istiadatnya yang beraneka ragam dan masih melekat dalam jiwa masyarakat.
Seperti
yang dikatakan tokoh agama di desa tersebut bahwa ajaran agama jangan hanya
teori saja namun kita harus mempraktekan dengan baik sehingga bisa membedakan
mana yang baik dan buruk dan mana yang bisa dilaksanakan dan mana yang tidak
boleh sehingga warga dalam melaksanakan sesuatu bisa mulai dari dalam diri.
Selama
ini sekeha teruna teruni di desa Pakraman Penglipuran selalu ikut aktif
membantu jika ada kegiatan-kegiatan agama begitu juga kegiatan Adat. Mereka
dibiasakan untuk selalu berkecimpung dalam setiap kegiatan agama dan adat , hal ini dilakukan untuk pembelajaran
yang nantinya sudah pasti menjadi Krama. Dan pada akhirnya mereka jika sudah
berkeluarga atau menikah sudah tidak canggung lagi terjun ke masyarakat dalam
mengikuti kegiatan adat.
Pelestarian desa Tradisional Penglipuran yang sudah
berjalan lama ini semua ada kaitannya dengan upacara-upacara Adat yang
dilakukan desa ini dan sudah berjalan lama mulai leluhurnya. Upacara adat disini kebanyakan mengandung makna
pelestarian, seperti Apa yang dikatakan Bendesa Adat bahwa
Deriki samian upakara sane kemargian wenten
kaitan nyane sareng pelestarian , irage ring Bali sampun lumrah samian upakara
tujuan ipun mangde gumi puniki les carya trepta rahaja, imanusia
numpang hidup ring gumine iriki sampun sewajar nyane ngaturang yadnya
ring sane mendue gumi puniki, mangde antara alam sekala tur niskala wenten
keseimbangan. Punkie sane miknedaki warga ngaturang yadnya santukan merasa
medue utang. ( disini
semua upacara yang ada berkaitan dengan pelestarian alam, di Bali sudah umum
dan sebagai manusia yang hidup didunia sudah sewajarnya mengahturkan yadnya
atau pengorbanan suci kehadapan sang
pencipta, sehingga terjadi keseimbangan alam nyata dan maya, inilah yang
membuata warga masyarakat mengadakan yadnya karena merasa mempunyai kewajiban
atau utang kepada yang pencipta yang telah menganugrahkan rahmatnya )
Apa yang
dikatakan bendesa Adat memang benar bahwa
kegiatan adat atau ritual-ritual yang ada di Bali
pada umumnya kebanyakan mengandung makan pelestarian dan saling
terkait satu sama lain. Hal ini bisa dilihat dari ritual-ritual dalam pertanian
semua diawali dengan upacara yadnya, seperti mulai membuka sawah atau lading disebut ngeruak
yang intinya mohon permisi kepada yang empunya lahan dan diteruskan dengan
mulai pekerjaan lahan, menanam benih, dalam pengairan sehingga terkenal subak.
Semua berkaitan dengan kehidupan warga masyarakat Bali
yang agraris yaitu pertanian. Kita hidup
dalam lingkungan yang dianugrahkan Ida Shang Hyang Whidi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) maka kita harus selalu
menjaga alam dan lingkungan ini agar tetap lestari, oleh warga masyarakat untuk
menyatakan diri dan rasa syukur dan sujud kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa
( tuhan Yang Maha Esa ) semua diwujudnya dengan yadnya atau korban suci yang
semua bertujuan untuk menyeimbangkan alam sekala dan niskala ( dunia nyata dan
tidak nyata ), dan jika itu bisa kita laksanakan maka lingkungan kita akan
tetap lestari.
Dalam
pelestarian seperti pemukiman penduduk yang ada sampai sekarang ini tetap
lestari tertata dan masih dalam koridor aturan yang berlaku di desa kami disini,
semua berpaling pada aturan yang ada, dikatakan oleh Bendesa Adat ( wawancara tanggal 20 September 2005 ). hal itu dikarena
dalam pembangunan yang dilakukan warga
masyarakat atau penduduk , warga kami masih
berpedoman pada konsep-konsep yang berlaku di desa ini dan juga dipakai kebanyakan masyarakat Hindu
di Bali . Seperti :
Konsep
sane ke anggen ring desa adat deriki manut ring Dresta Desa Pakraman deriki
sekadi : ( konsep yang dipakai di desa Adat sesuai
dengan aturan –aturan ada dan
dipakai seperti ) :
Konsep yang dipergunakan dalam
pembangunan di desa Pakraman Penglipuran mengacu pada konsep – konsep dan tata ruang peruwujudan arsitektur tradisional yang
telah ada selama ini dan merupakan buah karya leluhur kami yang tidak ternilai
harganyai, hal ini bisa terlihat dari maha karya para leluhur kita dalam
berbagi hasil peninggalan yang ada, dan hasilnya mengandung makna sarat akan nilai dan kesakralan yang tidak ada
tara atau duanya. Berrdasarkan konsep
tersebutlah maka dalam pembangunan yang
dialksanakan di desa Pakraman Penglipuran tetap mengacu pada beberapa konsep
diantaranya adalah : Tri Mandala, Panca Mahabhuta, Nawa Sanga, Desa Kala Patra,
Triangga, Catusphata, Sangamandala:
1.
Konsep Tri Mandala
:
Terdiri dari : Utama
Mandala, Madya Mandala, Nista Mandala.
Konsep ini merupakan dasar
semua pembangunan ada di Desa kami berbeda dengan warga masyarakat Bali atau di pulau Bali
pada umumnya yang mempergunakan Konsep Tri Hita Karana, yaitu Palemahan,
Pawongan dan Parhyangan. Namun konsep ini intinya sama dengan konsep Tri
Mandala yang kami pakai. Konsep ini merupakan acuan bagi warga kami jika ingin
membangun rumah pemukiman, konsep ini menekankan pada : Atma, Angga, dan Khaya,
tiga kutub yang menjadikan satu kehidupan. Jiwa, fisik dan tenaga dalam
kesatuannya mewujudkan suatu kehidupan yang berperan. Manusia dan kehidupan
lainnya akan dapat berperan optimal bila ketiga kutubnya berada dalam
kesetimbangan. Tanpa jiwa adalah robot, tanpa fisik adalah dogma, dan tanpa
tenaga adalah jimat yang hanya hidup dalam dunia khayalan. Dalam pembangunan
perumahan khususnya di Bali dimulai dari
upacara pengadaaan bahan bangunan, nasarin, ngurip geguluk, ngaug sunduk,makuh,
dan terakhir bila bangunan telah selesai atau rampung diadakan serangkaian
upacara mengurip-ngurip / melaspasin sehingga rumah tersebut mempunyai jiwa.
Konsep
Tri Mandala antara lain :
1.
Utama Mandala yaitu berada paling utara
dan merupakan areal yang disucikan untuk khusus tempat persembahyangan bagi
warga desa. Di daerah ini dibangun tempat-tempat suci yang disebut pura.
2.
Madya Mandala yaitu areal yang berada
ditengah-tengah yang merupakan tempat pemukiman para penduduk serta kegiatan
lain, areal ini dibangun rumah penduduk, balai banjar serta fasilitas umum
lainnya.
3.
Nista Mandala yaitu merupakan daerah
yang berada diselatan atau betenan ( dibawah ) dimana daerah ini biasa terdapat
kuburan dan ladang para penduduk
Begitu
juga dalam penataan tempat suci juga memakai konsep ini Tri Mandala yaitu :
Utama Mandala adalah bagian teritorial
pura tempat didirikan bangunan-bangunan suci ( pelinggih-pelinggih ). Areal ini
biasanya dibatasi dengan pagar yang memisahkan dengan areal kedua ( madyama mandala )
Madyama Mandala adalah bagian
teritorial pura yang terletak dibagian depan areal utama mandala, dimana
sesorang memasuki utama mandala akan melului areal madyama mandala ini. Pada
areal ini didirikan bangunan-bangunan pelengkap yang menunjang kegiatan di pura
seperti dapur,bale kulkul, tempat hiburan seni sakral yang dipentaskan maupun
bangunan lain yang fungsinya sebagai pendukung kegiatan upacara
Kanista
Mandala adalah teritorial / tanah wilayah pura yang merupakan
druwe /milik pura seperti tanah setra ( kuburan ), tanah-tanah pelaba pura,
tanah-tanah telajakan pura serta tanah lainnya yang berlokasi di luar dari Pura.
Areal ini berada diluar dari pura sering juga disebut jabaan ( diluaran )
daerah ini adalah daerah biasa lain dengan madya dan utama yang telah disucikan
dan disakralkan sehingga untuk masuk ke daerah ini hanya orang-orang yang ingin
sembahyang saja yang boleh masuk.
KONSEP TRI
MANDALA
Palemahan
Pura
Palemahan
Desa
Palemahan
Teba/
Kebun/Kuburan
Selain
konsep di atas masih banyak lagi yang harus dijadikan pedoman dan harus
diperhatikan seperti yang dungkapkan oleh Bendesa bahwa dalam kehidupan masyarakat Hindu
banyak sekali yang harus diperhatikan
dalam hal membangun suatu tempat pemukiman atau rumah , bangunan tempat ibadah, balai banjar ( tempat pertemuan / pendopo ) semua harus selalu memperhatikan hal-hal
yang sudah menjadi patokan dresta, bisama ( aturan ) sehingga mereka tidak terkena mala
atau rintangan setelah bangunan itu selesai,
seperti :
1.
Panca Maha Bhuta
yaitu lima
unsur yang mewujudkan suatu kehidupan,
manusia, alam dan lingkungannya. Diantaranya Apah, Teja, Bayu, Akasa dan
Pertiwi masing-masing sebagai zat pembentuk : cairan, sinar, angin, udara dan
tanah bebatuan atau zat padat pembentuk wujud fisik.
Alam,
dibentuk oleh kelima unsur tersebut ; manusia juga dibentuk oleh kelima unsur
tersebut, manusia berperan sebagai menyelaras keseimbangan dan pengondisian
unsur-unsur tersebut adanya di bumi dan perlunya bagi kehidupan manusia.
Air,
sangat diperlukan bagi kehidupan manusia, manusia tidak dapat berpisah dengan
air. Manusia memerlukan air demikian juga unsur-unsur lainnya seperti sinar dan
panas bumi dan angin di badan manusia,pengondisian udara dan dan pembentukan
zat-zat pembentuk merupakan upaya manusia melalui wujud arsitekturnya.
Atap alang-alang dan tembok bata telanjang,
menyerap panas bumi di siang hari untuk menghangatkan ruang di malam hari,
Bahan-bahan
bangunan yang diambilkan dari alam sekitar untuk keselarasan visual dan
keseimbangan daur ulang manusia, lingkungan.
Semua
bahan tadi merupakan unsur dalam pembangunan suatu rumah yang terdiri dari
berbagi bahan sehingga rumah tersebut merupakan gabungan dari kelima unsur tadi
hal ini meniru tubuh manusia yang terdiri dari lima unsur.
2.
Nawa Sanga ( Sembilan penjuru mata angin ),
utara,selatan,barat, timur, timur laut, tenggara, barat daya, barat dan barat laut. Dengan ditengah sebagai titik
pusat silang menjadikan sembilan arah bumi, sembilan lubang pada manusia, dan
sembilan zone pada bangunan. Masing-masing
dengan tata nilai penguripnya. Pranata masa,naga tahun, sasih dan
wawaran. Dewa pengider-ider senjata, dan warna masing-masing arah tersirat
dalam perwujudan arsitektur tradisional yang dibentuk dan mewadahi
pengider-ider. Sehingga pada pembangunan harus memperhatikan kesembilan arah
mata angin.
3.
Desa Kala Patra konsep ini berpedoman pada
norma-norma agama yang universal, konsep perancangan berpedoman pada situasi
dan kondisi lingkungan, konsep perencanaan berpedoman pada tempat, waktu dan
keadaan, konsep arsitektur berpedoman
pada bentuk dan fungsi peruntukannya.dengan kata lain konsep ini harus sesuai
dengan kondisi dari lingkungan.
4.
Triangga
Konsep
ini meniru tubuh manusia yang terdiri dari Kepala, badan, dan kaki, semua itu
memiliki nilai utama, madya dan nista. Begitu juga dalam pembangunan dilakukan
dengan konsep yang urutan nilai ruang dalam pekarangan perumahan : Parahyangan
( utama ) yaitu ibarat kepala, pawongan (madya) ibarat badan, palemahan (nista)
ibarat kaki dan untuk pekarangan pura tempat pemujaan : jeroan (utama),jaba
tengah (madya) dan jaba sisi (nista). Jadi disini semua urutan ruang pada
bangunan, pekarangan,desa dan lingkungan didasarkan pada konsep Triangga.
5.
Catuspatha, konsep ini didasarkan pada dua sumbu
silang ( kaja-kelod dan kangin-kauh )
utara-selatan, timur –barat yang membentuk pusat di tengah. Pola terpusat
dengan lintasan pada keempat arah dalam pola ruang tradisional disebut pola
perempatan agung atau nyatur mukha, nyatur desa dengan jalan utama
utara-selatan dan timur-barat silang perempatan sehingga di tengah sebagai
pusat desa, letak pusat desa ditengah dikarenakan semua kegiatan berada di desa
dan sebagian dekat pusat desa terdapat lahan kosong atau karang kosong yang
fungsinya untuk kegiatan-kegiatan upacara keagamaan yang dimiliki bersama.
6.
Sangamandala, konsep ini berkaitan dengan tata
letak dari bangunan seperti pada jaman dulu kala yang memakai konsep
pembangunan negara kertagama, dimana kaja kangin-dan kelod adalah berhubungan
keluar desa, ditengah pusat desa, kaja kangin zona pura atau puri dengan karang
tuang sebagai bencingah, kaja kauh wantilan desa dengan karang tuang sebagai halamannya.
Kelod kauh sebagai zona pusat desa, dan kelod kangin sebagai alun-alun lapangan
desa, hal ini sama dengan rumah sebagian besar di daerah Bali
khususnya Bangli dan Gianyar semua masih dengan konsep tersebut.
Pola rumah yang ada di Desa Penglipuran selama ini adalah
masih mengacu pada pola lama , seperti yang dikatan Bendesa adat
( wawancara tanggal 20 September 2005), bahwa pola masa bangunan ( pekarangan, karang) masih tetap
mempertahankan rumah-rumah adat ( Bale
Sake enem dan Paon ) dengan struktur dan bahan bangunan dan ornamen yang masih
terjaga keasliannya.
Namun disisi lain ada responden yang berpendapat bahwa
perlu terus dikembangkan pelestarian seperti sekarang karena itu sudah
merupakan kewajiban kita menjaga pelestarian daerah sendiri dan nantinya kita
wariskan kepada anak cucu kita, jika hal itu tidak dilakukan nantinya merupakan
masalah besar terhadap generasi muda yang tidak mengerti jati dirinya dari
mana. Dan kalau bukan kami-kami selaku generasi muda yang melakukan pelestarian
terhadap budaya tersebut siapa lagi yang akan
perduli dan akan menjaga kelestarian budaya itu. .Jika disimak dari pandangan
tersebut juga memang benar bahwa pelestarian perlu diadakan untuk generasi
mendatang sehingga mereka tidak kebablasan dan terpengaruh dunia luar, tugas
merekalah yang mengajegkan Bali, sehingga kebudayaan kita tetap terpelihara dan
kita terkenal karena kebudayaan itu juga.
Memang
masyarakat atau warga perlu mengikuti perkembangan atau suatu perubahan sesuai
dengan perkembangan jaman. Jika tidak mengikuti perkembangan desa tersebut
tidak akan maju-maju atau berkembang , karena tetap tidak mengalami perubahan dan kalau
begitu saja tanpa ada perubahan mungkin dikatakan premitif sehingga hanya
menjadi konsumsi tamu saja, atau dijadikan obyek jual saja, namun warga
masyarakat terbelakang dan tidak mendapat perhatian yang sesuai untuk masalah kehidupan
masyarakat. Masyarakat akan seperti itu saja tanpa ada perubahan
status sosial dan tidak ada perubahan dalam tingkat tarap hidup dan status
ekonomi, sebab jika hal itu terus menerus dipertahankan desa akan seperti
tertinggal dan jauh dari sentuhan luar, seakan membuat warga dalam keadaan
tertekan dan membuat mereka bodoh. Memang dari segi tingkat kunjungan wisatawan
hal itu merupakan keanehan dan menjadi suatu
tontonan yang menarik sebab desa tersebut mempunyai keajaiban atau kekhasan yang bagus karena masih tetap menjadi tradisinya dan dikatakan tradisional
atau orisinil, tapi warga masyarakat seperti terbelakang dan primitif.
Mungkin
dalam satu atau sepuluh tahun lagi masih bisa merpertahankan hal tersebut, tapi
apakah generasi mudanya nanti bisa bertahan terus dengan kondisi sekarang yang
serba maju dan pengaruh globalisasi. Memang warga masyarakat selama ini patuh
dengan adanya aturan atau awig-awig yang mungkin merupakan hasil musyawarah,
namun kadang-kadang mereka menjalankan dalam keadaan terpaksa atau tertekan,
karena mereka takut akan sanksi adat yang lebih berat dari sanksi hukum biasa,
sanksi adat dalam pelaksanaannya bisa berpengaruh terhadap keluarga dan
keturunan yang terkena sanksi.dan ujung-unjungnya mereka akan kasepekang oleh
warga lainnya.
Dalam pelestarian suatu desa merupakan
masalah yang amat serius, ada sisi negatif dan positifnya, disatu sisi jika
kita tetap memepertahankan suatu tradisi akan berpengaruh terhadap salah satu
sisi juga seperti keterbelakangan, dan bila terjadi perubahan mereka akan
kehilangan jati dirinya, maka disini perlu diadakan langkah-langkah dimana apa
yang perlu ditekankan dalam pelestarian suatu desa atau kebudayan
Secara
logika mungkin sebagai alternatif yang dilakukan dalam tetap menjaga
kelestarian desa Penglipuran adalah dengan jalan menjaga kelestarian tatanan
kehidupan warga yang sudah biasa dan telah berjalan dengan baik, yang harus
tetap memegang teguh tradisi namun dalam hal pembangunan perumahan seperti pola
rumah,atau tata ruang pekarangan harus tetap berorientasi pada konsep Tri Mandala
dan Tri Hita Karana . dan dalam model rumah atau stil rumah itu merupakan seni
seseorang dan biarkan sesuai dengan keinginannya kita harus memberikan
keleluasaan mereka untuk berkreasi, namun tidak jauh melenceng dari ketentuan
yang berlaku di desa tersebut. Disini
bisa diambil contoh alternatif dengan model rumah bisa berbeda namun tata ruang
harus sama dan bahan diganti dengan yang ada dijaman sekarang dan tidak lagi
menggunakan bahan-bahan lama seperti
tanah liat atau tembok pol-pol, dan lantai tidak lagi beralaskan tanah sudah menyesuaikan dengan keadaan sekarang, karena
untuk membuat pagar dan angkul-angkul yang asli seperti dulu dimana temboknya
dari tanah liat sudah sulit ( tempol
pol-pol ) dan warga lebih baik membeli batako ketimbang membuat tanah liat .
Dari segi kemasyarakatan warga desa kami yaitu Desa Pakraman
Penglipuran memiliki keunikan yang relatif berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Sebagai bagian dari tipe masyarakat
Bali Aga ( Bali Asli ) mereka pada umumnya lebih
egaliter dan kurang terstrafikasi. Dengan demikian sistem sosialnya tidak
serumit masyarakat Bali dataran rendah.
Sebagai masyarakat petani, orientasi hidup mereka cendrung agraris. Hal ini
ditunjang dengan upacara-upacara agama yang kebanyakan berkaitan dengan
kehidupan pertanian dan peternakan
Ritual-riual Adat yang ada sampai sekarang tetap kami
laksanakan bersama warga masyarakat dan itu sudah merupakan kewajiban kami
untuk tetap menjaga hal ini diperjelas
oleh pernyataan Bendesa Adat dimana Secara moral kami bendesa adat harus tetap mempertahankan tradisi tersebut karena
itu merupakan kewajiban desa kami, sehingga kami warga desa terhindar dari
segala cobaan sekala dan niskala, maka kami secara rutin mengadakan upacara
yang sudah ada sejak dulu. Dan makna dari upacara tersebut semua berkaitan
dengan pelestarian. Dan dalam waktu dekat ini kami warga desa adat Penglipuran
akan mengadakan upacara Ngusaba Bantal yang kami laksanakan pada bulan
September 2005 yang tepatnya tanggal 27 September 2005. Ngusaba Bantal ini sudah dilakukan
sejak dulu dan merupakan warisan leluhur kami, kami selaku warga masyarakat
takut meninggalkan tradisi tersebut. Dan yang ditakutkan adalah sanksi niskala
yang tidak kelihatan, maka dari itu kami tetap terus mempertahankan tradisi
tersebut. Upacara itu semua bertujuan untuk mengembalikan kesimbangan alam
sehingga warga kami hidup dan bekerja dengan damai dan tentram. Selain itu apa
yang dikatakan oleh Kepala Lingkungan Bahwa
ritual-ritual
punika kayang mangkin kantun memargi taler sampun menjadi kebiasaan atawi
tradisi sane sampun manggeh kesepakatan (
ritual-ritual yang ada di desa kami sampai sekarang masih tetap menjadi
kebiasaan dan sudah menjadi tradisi dan berjalan dengan baik sesuai dengan
aturan atau dresta yang menjadi ketetapan krama atau warga masyarakat ).
Pelesatrian
desa Adat memang sangat perlu diadakan karena merupakan ciri khas desa
khususnya di Bali yang hidup dari adat dan
kebiasaan dan menurut responden tentang pelestarian desa tardisional Penglipuran
mereka mengatakan bahwa :
Yening
pelestarian sekadi mangkin titiyang setuju
banget, napi mawinan sawireh, kebudayaan punika harus kelestariang, mawinan
kebudayaan punika hasil budi karya para leluhur iraga sane becik, iraga
minekadi generasi muda tuah nerima manten, punika budaya luhur. Yan nenten
kelestariang pianak taler cucun iraga nenten lakar manggehin napi sane sampun
kemargiangan. Nanging napi generasi sane jaga rauh atawi pungkuran menawi bisa
ngemanggehin budaya punika,santukan jaman sampun kaliyuga tur sampun kemajuan
teknologi canggih. Punika sabne banget kasungsutan ring manah ( bahwa kalau pelestarian
Kebudayaan mereka sangat setuju, apa yang menyebabkan kebudayaan itu harus
dilestarikan karena kebudayaan tersebut merupakan buah karya para leluhur
kita.kita sebagai generasi muda hanya menerima apa yang sudah ada. Dan jika hal
itu tidak dilestarikan anak dan cucu kita tidak akan melihat lagi apa yang
telah menjadi kebanggaan kita. Sebab sekarang sudah jaman modern dengan
teknologi yang canggih, itulah yang membuat kita sedih )
Dalam pelestarian tradisi dan kebiasaan dikatakan oleh
responden bahwa :
Tradisi atawi kebiasaan-kebiasaan punika harus tetep
dilestarikan santukan punika merupa kewajiban irage sami anggen naur utang ring
leluhur, Ida Shang Hyang Whidi, taler butha kala, yadnya punika samian ke
wujudang antuk sarana yadnya sane medue tujuan becik mangde alam sane mendasar
panca maha buta samian somia. ( itu perlu tetap dijalankan atau perlu dilestarikan,
lebih lanjut dikatakan bahwa itu merupakan kewajiban kita membayar utang kepada
leluhur, Tuhan, Butha kala, dan lingkungan alam ).
Wujud dalam
pelestarian oleh warga masyarakat
dituangkan dalam yadnya-yadnya ( upacara Adat ), bentuk yadnya yang
harus kita lakukan itu merupakan
pengorbanan suci terhadap Shang Pencipta atas apa yang telah diberikan kepada
kita. Bagi warga masyarakat di Bali pada umumnya takut akan hukum alam yang niskala ( tidak
terlihat ). Hukum sekala masih bisa
dilihat namun yang bersifat niskala kita
kita bisa prediksikan. Maka
kita takut pada yang tidak kelihatan.
Pelestarian
terhadap Desa tradisonal Penglipuran akan berhasil jika hal tersebut tumbuh
dari hati nurani warga ingin tetap mempertahankan tradisi dan kebiasaan dan
bukan untuk kepentingan lain, ini demi generasi mendatang sehingga mereka tidak buta
dan lupa akan kebiasaaan dan tradisinya yang mengandung makan luhur. seperti
yang dikatakan salah satu warga masyarakat
yang dijadikan reponden Yaitu :
Pelestarian
sane kemargian puniki mangde medal sakeng manah atawi kayun diragen santukan
punika irage dados warga desa adat mangde ngemargiang awig-awig, dresta, taler
sane lianan, irage mangde ngemargiang punike sami menjalarkan manah sane becik ( semangat Pelestarian
yang berjalan supaya keluar dari hati nurani sendiri, dan sebagai warga desa
Adat supaya menjalankan awig-awig dan aturan dengan baik, dan bentuk ikut serta
dalam pelestarian yaitu dengan menjalankan dan mentaati aturan yang berlaku ).
Pelestarian
desa Adat Penglipuran memang bukan tanggung jawab dari Bendesa Adat saja namun juga
merupakan tanggungjawab warga masyarakat desa kami, dalam melaksanakan
pelestarian diperlukan kesadaran dan
keiklasan warga masyarakat untuk
mendukung berjalannya program pelestarian yang dicanangkan lembaga adat. Warga
harus menjaga dan ikut serta aktif di desanya dengan menaati dan menjalankan
aturan yang merupakan kewajiban yang telah disepakati bersama.
Jika
dilihat dari tingkat pendidikan warga di desa Pakraman Penglipuran dimana
tingkat pendidikan yang paling tinggi berada pada sekolah dasar. Hal ini bisa
mempengaruhi jalan berpikir mereka dan kadang-kadang hanya berpikir dengan
jangka pendek, sehingga mereka juga mempunyai tingkat kepatuhan yang relatif
tinggi dalam menjalankan aturan atau perarem dalam pelestarian desanya, karena
dasar pengetahuan mereka sampai pada tingkat sekolah dasar. Inilah yang
menyebabkan mereka masih bisa bertahan
dengan keadaan sekarang ini, namun kedepan jika sumber daya manusia mereka
sudah mencapai diatas itu sudah pasti akan terjadi suatu perubahan juga.
Sebagai
tokoh desa Adat Penglipuran kami beserta Bendesa adat melakukan pembinaan-pembinaan
dengan tetap ingin mempertahankan kelestarian tradisi desa dan hal yang
dilakukan dengan memberikan kursus-kursus membuat banten yang sudah ditinggalkan
generasi muda yang selama ini warga jika melakukan persembahyangan sudah
membeli sesajen atau banten, padahal jika membuat sendiri itu merupakan
ungkapan hati yang tulus yang ditujukan kepada Tuhan, maka untuk membangkitkan
kembali rasa itu tokoh agama khususnya tokoh Adat melakukan terobosan itu
dengan memberikan kursus singkat dengan membuat banten atau sesajen, dan
mengadakan ngayah bersama jika ada piodalan dipura-pura untuk memotivasi warga
masyarakat khususnya wanita membuat banten dan kue sehingga mereka menjadi
terbiasa dengan hal tersebut. Selain itu juga adanya pembinaan-pembinaan terhadap
pemangku ( pemimpin upacara agama ) sehingga mereka lebih propesional dalam
memimpin pelaksanaan upacara agama dan adat. Semua ini kami lakukan bekerjasama
dengan Pemerintah melalui bagian sosial, semua untuk kepentingan ajeg Bali.
Dikatakan
lebih lanjut oleh Bendesa adat bahwa kami telah melakukan semacam penginventarisan
yang nantinya berupa buku yang dijadikan pedoman untuk generasi muda mendatang ,
data ini membuat bebrapa pentujuk tatacara piodalan serta memuat banten atau
sesajen-sesajen yang perlu disiapkan dalam upacara tersebut, selain itu juga
tercantum nama-nama pelinggih serta siapa yang beristana di pura atau tempat
ibadah tersebut.serta kapan piodalan tersebut diadakan . hal ini kami lakukan
untuk mengantisipasi untuk memudahkan pemahamn generasi muda sehingga mereka tahu sejarah dan makna apa yang ada dalam
setiap upacara Adat atau agama. Penginventarisan pada dasarnya bertujuan memberikan bekal kepada generasi
muda penerus desa, seperti yang dilakukan pendahulu kita mereka membuat tempat
ibadah atau pura selalu dilengkapi dengan prasasti kapan pura itu dibuat dan
kapan piodalan dan siapa berstana dipura
tersebut dan banten apa yang dipakai, semua tercakup dalam lontar atau prasasti
yang ada. Langkah inilah yang ditiru Bendesa adat dan tokoh agama untuk
mengantisipasi punahnya kebudayaan dan tradisi-tradisi kami, sehingga apa yang
diamanatkan para leluhur bisa kita lestarikan dengan baik dan diwariskanan pada
generasi selanjutnya sehingga sampai kapanpun tetap lestari dan ajeg walau
berada pada arus gelobalisasi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari
apa yang telah dibahas di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Peran
Lembaga desa Pakraman menduduki posisi puncak karena semua tanggungjawab ada
tangan lembaga adat. Peran lembaga adat
yaitu menata, mengatur dan mengawasi dan membina warga masyarakat sehingga
tumbuh menjadi masyarakat yang damai dan tentram dalam hal ini moksartam jagadita
yacaiti dharma, yaitu sejahtera dalam dunia nyata atau masyarakatn yang damai
dan tentram.
Dalam
Pelesatrian Desa Tradisional Penglipuran tidak hanya Peran lembaga Desa
Pakraman / adat saja namun diperlukan dukungan dari pihak-pihak lain seperti
Pemerintah, swasta, Tokoh Masyarakat, Wraga masyarakat itu sendiri
Pelaksanaan
Pelestarian Desa Tradisional Penglipuran seharusnya tumbuh dari dalam diri
warga masyarakat dan bukan hanya sebatas untuk kepentingan komersiil. Karena
sekarang sudah banyak perubahan di Bali pada
umumnya pelestarian dilakukan hanya untuk kepentingan komersiil.
Bendesa
Adat mengefektifkan awig-awig atau aturan yang sudah ada dan masih berlaku di
desa Pakraman penglipuran, awig-awig tersebut merupakan aturan yang menjadi
kesepakatan bersama warga masyarakat. Awig-awig tersebut sangat efektif sebagai
pengendalian sosial atau kontrol sosial terhadap prilaku warga masyarakat
sehingga dengan adanya aturan tersebut warga masyarakat bisa hidup damai dan
tentram.
Untuk
mempertahankan pola bangunan yang mempunyai ciri khas dan tata ruang yang ada
sampai sekarang tetap lestari, Bendesa Adat tetap mengacu pada aturan desa atau
dresta desa yang berpedoman konsep Tri Mandala, dan warga masyarakat yang ingin
membangun harus mengikuti aturan atau sesuai dengan konsep tersebut.
Dalam
mengatasi perkembangan jaman dan perkembangan jumlah penduduk yang pasti
membutuhkan tempat pemukiman baru, alternatif yang dipergunakan adalah dengan
membuka lokasi baru diluar areal desa yang telah ada, sehingga desa lama tetap
lestari tanpa mengganggu keasliannya. Dan tidak terjadi perubahan. Sedangkan
untuk menangkal pengaruh arus globalisasi terhadap generasi muda, langkah yang
diambil Bendesa Adat yaitu dengan
menggalakan atau menghidupkan kembali sekeha-sekeha yang ada di desa Adat
Penglipuran, sehingga generasi muda merasa memiliki dan mencintai desanya.
Selain itu Bendesa adat dengan bekerja sama dengan tokoh Adat dan Masyarakat
mempunyai kiat yang bagus dengan jalan menginventarisasi semua kegiatan adat
atau upacara agama , nilai-nilai budaya dan tradisi luhur kedalam buku (
prasasti ) yang tujuannya untuk tetap memberikan kepada generasi muda sehingga
mereka tidak lupa akan tradisi dan kebudayaan dan agar tetap ajeg.
Saran
1. Perlu di gali kembali
nilai-nilai budaya dan norma-norma yang
luhur yang tumbuh dalam masyarakat sehingga menumbuhkan kembali rasa sosial yang
tinggi sehingga menjadi motivasi untuk tetap
mempertahankan budaya dan tradisi yang teklah dimiliki.
2. Perlu digalakan
Pembinaan-pembinaan secara berkala di desa-desa adat dan terus digalakan sehingga
apa yang didengungkan mengenai ajeg Bali bisa
terlaksana
3. Dalam menjaga kelestarian, yang perlu ditekankan adalah
tetap menjaga tatanan kehidupan sesuai dengan kebiasaan serta tradisi yang ada sehingga.
4. Kerja sama
antara masyarakat, tokoh masyarakat ,pemerintah serta lembaga adat sangat diperlukan sehingga terjadi
jalinan timbale balik guna bisa menjaga dan mempertahankan keajegan Bali.
5. Partisipasi masyarakat harus terus diaktifkan dengan
jalan memberikan dorongan dan semangat sehingga tumbuh rasa memiliki dan mencnitai
desanya.
6. Mengefektifkan kembali awig-awig yang ada di desa
tersebut dan harus mempunyai keluwesan sehingga warga masyarakat dalam
melaksanakannya tidak merasa terpaksa atau tertekan.
7.
Pelestarian harus tumbuh dari dalam hati warga masyarakat dan tidak
diboncengi kepentingan lain seperti komersiil.
DAFTAR PUSTAKA
Awig-Awig desa Adat Penglipuran, 1989
Agnes Sunartingisih,MS,Dra, 2004. Strategi Pemberdayaan
Masyarakat,Aditya Media
Bagus,
I Gusti ngurah, 1975. Bari dalam Sentuhan Pariwisata, Upada Sastra
Beratha I
Nyoman, Drs, 1982.
Desa Masyarakat Desa
dan
Pembangunan Desa. Upada Sastra.
Bintoro
Jokroaminoto, 1985. Pengantar Administrasi Pembangunan,
Jakarta, LP3ES.
Busro.A,1989. Nilai dan Berbagai aspeknya dalam Hukum,Jakarta, Bharata
Departemen Pariwisata Post dan Telekomonikasi,1992. Penyusunan
tata Ruang dan Rencana detail Teknis desa Wisata Terpadu di Bali,
Departemen Pariwisata Post dan Telekomonikasi
Departemen Pariwisata Post dan Telekomonikasi,1992. Bahan
Penyuluhan Pariwisata, Jakarta., Departemen Pariwisata Post dan
Telekomonikasi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001. Kamus Umum
Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka
Diklat
Pariwisata Tingkat Lanjutan, 2004. Buku Panduan Pembelajaran
Pariwisata tingkat Dasar. Dirjen Pariwisata
Diklat
Pariwisata Tingkat Lanjutan, 2004. Buku Panduan Pembelajaran
Pariwisata
tingkat Lanjutan.Dirjen
Pariwisata
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 2001, Buku Tuntunan
Pembinaan Desa Pakraman, Dinas kebudayan Prop. Bali
Geriya,Wyn,1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan
Lokal, Nasional dan Global bunga Rampai Antropologi Pariwisata.Denpasar
Upada Sastra
JL.
Pasaribu dan Simanjuntak,1982. Sosiologi Pembangunan, Bandung,
Tarsito
Josef
Riwu Kaho, 1991, Prospek otonomi Daerah di Negara Indonesia,
Jakarta , Rajawali Pers.
Lexy
J. Moleong, Dr, MA, 1990. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung,
PT. Remaja
Rosedakarya.
Karyono,Hari. A,1997. Kepariwisataan, Jakarta. PT. Gramedia
Kontjaraningrat, 1997. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta
.PT Gramedia
Majelis Pembinaan Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, Desa
Adat dan Kepariwisataan di Bali
Michel Picard, 1990. Bali
Cultural Tourism dan Touristic Culture” Kebalian Orang Bali
“ Riview Of Indonesian and
Malsysian Affairs )
Moeljarto
Tjokrowinoto, Prof. Drs.MPA, 1996, Pembangunan Dilema dan
Tantangan,
Pustaka
Pelajar
Naya Sujana, N, 1994. Manusia Bali di Persimpangan
Jalan. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, Bali Post
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman, Bp
Peraturan daerah Nomor 6 Tahun 1986, Desa Adat Kedudukan, Fungsi dan
Peranan Desa adat
Sirtha.I.N, 1998. Pengendalian Sosial ditinjau dari
Persepektif ilmu Hukum dan Masyarakat, Denpasar, BP
Soekanto,S,1982. Memperkenalkan Sosiologi,
Jakarta.Rajawali
____________,1983. Pengendalian Sosial Penegak Hukum,
Jakarta Bina
Cipta
____________, 1993. Beberapa Teori Sosiologi tentang
Struktur Masyarakat, Jakarta,Raja
Grapinda Persada
Spilane. J.J,1989. Ekonomi Pariwisata sejarah dan
Prospeknya, Yogyakarta.Kanisius
Spradley, J.P. 1997, Metode
Etnografi ( Terjemahan Misbach Z. Elisabeth ) , Jogjakarta iara Wacana Yogya
Sunyoto Usman, 2004. Jalan Terjal Perubahan Sosial
, Cired
Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003. Pengembangan
Masyarakat dan Pembangunan sampai Pemberdayaan, Yogyakarta.
Aditya Media
Surpha, I Wayan, 2001. Seputar Desa Pakraman dan Adat
Bali, BP
____________, 1993. Eksistensi Desa Adat di Bali,
upada Sastra
Subakti, 1984. Dasar-dasar Ilmu Politik, Unair,
Press
Suasthawa. I Made,
2001. Desa adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Denpasar. Upada
Sastra
___________, 2001. Peranan Desa Pakraman, Biro Hukum
Setda Propinsi Bali.
Taliziduhu
Ndraha, 1990, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan ,
Tinggal Landas.
Taneko.B.S,1987.
Hukum Adat, Bandung,
Eresco
Zen M.T,1979. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup,Jakarta.citra
aditya Bakti
Lampiran 1
Pola Linier Letak Desa Pakraman
Penglipuran
( Utara – Selatan sesuai Konsep Tri Mandala )
Ket.
Jalan Desa
Pola Pemukiman/ Tata Ruang
Pekarangan model desa Adat Penglipuran
Lampiran : 2
Pola Bangunan Desa Pakraman
Penglipuran
( Bale Daja – Bale Saka
enam )
Keterangan :
1.
Merajan
/ Sanggah ( Pura Keluarga )
2.
Bale
Daje ( Tempat Tidur dan dapur )
3.
Bale
dauh ( tempat tidur utama )
4.
Bale
sake Nem
5.
Pintu
Gergang ( angkul-angkul )
Lampiran : 3
Pola Pemukiman / Tata Ruang
Khas Bali pada umumnya
Keterangan :
1.
Merajan/Sanggah
( Pura keluarga )
2.
Bale
Saka nem ( tempat upacara manusia yadnya )
3.
Bale
Daja ( tempat tinggal para sepuh/orang tua )
4.
Bale
dauh ( tempat tinggal keluarga lain )
5.
Bale
Delod ( tempat dapur dan hunian )
6.
Kamar
mandi dan Toilet
7.
Pintu
gerbang
Lampiran
: 4
Peta
Kabupaten Bangli
Lampiran
: 5
Gambar
Pencapaian Ke Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 6
Gambar
Fasilitas Umum sekitar desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 7
Gambar
Potensi wisata Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 8
Gambar
Potensi Wisata Sekitar desa Pakraman Penglipuran
Gambar
: 9
Gambar
Peta Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 10
Eksisting
Tata Guna lahan Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 11
Gambar
Eksisting Tata Guna Bangunan Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 12
Gambar
Eksisting Kondisi Jalan desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 13
Gambar
Eksisting Pemilikan Tanah Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 14
Gambar
Eksisting Konservasi desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 15
Gambar
Rencana Tata guna Lahan Desa Pakraman Penglipuran
Lampiran
: 16
Gambar
Rencana Arahan desa Pakraman Penglipuran
DESA
TRADISIONAL PENGLIPURAN
DENGAN POLA LINIER ( UTARA – SELATAN )
HUTAN
BAMBU YANG BERADA DI BAGIAN BARAT DAN UTARA DESA
MODEL ANGKUL-ANGKUL KHAS BALI
Atap memakai ijuk dan telah memakai bahan batu bata
MODEL
ANGKUL-ANGKUL KHAS DESA ADAT PENGLIPURAN
Tembok
Pagar masih mempergunkan bahan dari tanah liat serta atap dari slepan atau daun
kepala kering
BALE DAJA DAN BALE SAKE NEM
YANG MENJADI CIRI KHAS DESA PAKRAMAN PENGLIPURAN
BALE DAJA DESA TRADISIONAL
PENGLIPURAN
DAPUR DI DALAM BALE DAJA
TEMPAT TIDUR DI DALAM BALE
DAJA
BALE SAKE NEM ASLI DESA
ADAT PENGLIPURAN
BALE SAKE NEM YANG SUDAH
MODERN
BALE SAKE NEM MODEL BALI
BALE AGUNG TAMPAK DARI
DEPAN
PEMEDAL AGUNG ( PINTU MASUK
KE UTAMA MANDALA )
PINTU GERBANG MASUK MENUJU MADYA
MANDALA
BALE KULKUL
BALE KULKUL TAMPAK DARI
LUAR
BALE BENGONG
ACARA NGAYAH WARGA DESA
DALAM RANGKA PERSIAPAN UPACARA PIODALAN
update lagi blog kerennya
BalasHapus